Membicarakan Representasi Perempuan di Industri Media Lewat Film “More Than Work”

Yogyakarta, 13 September 2019—Akibat kemajuan zaman dan perkembangan teknologi yang kian pesat, media tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Hal yang sama terjadi pula di Indonesia. “Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah media terbanyak di dunia,” tutur sutradara film More Than Work, Luviana, membuka diskusi seusai film dokumenternya selesai ditayangkan di Ruang Auditorium Lantai 4 Fisipol UGM.

Sebagai seorang wanita, Luviana telah banyak menelan asam garam sepanjang karirnya di industri media. “Selama ini, saya telah banyak berpindah pekerjaan di berbagai media, mulai dari radio, media cetak, online, hingga televisi,” kata Luviana. Saat ini, ia menjadi salah satu jurnalis di Metro TV. Berawal dari situ, Luviana menjelaskan, More Than Work menjadi ruang tepat baginya untuk membagi pengalaman kerjanya pada khalayak.

Screening film More Than Work karya Luviana ini diselenggarakan sebagai salah satu diskusi bulanan rutin Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (KOMAKO) UGM. Acara dihadiri oleh kurang lebih 100 orang dari berbagai instansi, termasuk mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi sendiri.

Selain Luviana sebagai sutradara, hadir pula dalam acara tersebut Shinta Maharani (Wartawan Tempo & Sekjen Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta) dan Meila Nurul (Public Defender LBH Yogyakarta). Diskusi pascapemutaran dimoderatori oleh Altri Dayani (Anggota Lingkar Studi Sosialis).

Film More Than Work pada intinya menyoal tentang jejak-jejak representasi perempuan dalam industri media di Indonesia. Sebagai seorang jurnalis, Luviana melihat bahwa di hadapan media, perempuan sering ditempatkan sebagai pihak yang terpojok, atau minimal, dimanfaatkan. “Sensualitas perempuan seringkali jadi suguhan utama televisi-televisi nasional,” jelas Luviana.

Menyambung bahasan tersebut, Luviana bercerita bahwa penampilan fisik memang menjadi senjata penting bagi perempuan dalam menjalani karir sebagai pekerja media. “Di sini (media), laki-laki dituntut untuk rapi. Sementara perempuan harus berpenampilan cantik. Wartawan yang tidak memenuhi standar-standar itu tidak akan mendapat tempat untuk tampil di layar-layar televisi Anda,” kata Luviana.

Diskriminasi terhadap perempuan memang masalah awet yang tak kunjung tuntas hingga sekarang. Penyebab paling mungkin dari berlangsungnya masalah tersebut adalah cetakan-cetakan sejarah yang memberi tempat ideal bagi budaya patriarkis untuk terus tumbuh. “Dan semua penampilan perempuan di media memang ada untuk memberi kepuasan seksual bagi laki-laki,” tambah Luviana.

Rangkaian scene dalam More Than Work berisi sekumpulan wawancara Luviana dengan para perempuan yang menjadi pekerja di industri media. Empat puluh menit durasi film berkelindan, membuat film dokumenter ini tampak seperti hasil riset yang kaya data sekaligus argumentatif.

Dalam wawancara-wawancara tersebut, Luviana tak hanya membahas representasi perempuan di media yang tampak di depan layar. Lewat beberapa cerita dari narasumber, terbuka pula fakta tentang perlakuan industri media terhadap pekerja perempuan yang acapkali eksploitatif.

“Saat menjalani karir awal sebagai pemain sinetron, saya pernah makan hanya dengan dua lembar roti dalam sehari,” ungkap salah satu narasumber yang tak disebutkan nama aslinya. Perlakuan semacam demikian tak hanya berhenti sampai di situ. Untuk mendapatkan sebuah peran, para artis perempuan seringkali diharuskan menurunkan berat badan secara drastis. Hal itu tentu sangat memforsir energi mereka.

Bagi Luviana, permasalahan-permasalahan yang ia angkat dalam film telah menjadi—menurut istilahnya sendiri—obrolan warung (sehari-hari) di kalangan sesama pekerja media. Istilah tersebut mengisyaratkan bahwa di industri media, diskriminasi terhadap perempuan memang marak terjadi, meskipun tak jamak diketahui orang.

Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mengeluarkan banyak cerita gentingnya ke luar warung, Luviana memerlukan ruang yang bisa dijangkau oleh masyarakat luas. Dan baginya, More Than Work adalah pilihan yang tepat. Dari situ, kita tentu berharap untuk tidak lagi mendengar cerita-cerita semacam itu ke depan. (/Snr)