Mempersiapkan Diri untuk Program Pertukaran Pelajar ke Jepang Melalui Exposure Talks #1 “Life in Japan”

Yogyakarta, 15 April 2020—Exposure Talks adalah diskusi digital yang diadakan oleh Global Engagement Office (GEO) FISIPOL UGM bertujuan untuk membuka dialog tentang pertukaran pelajar dan paparan internasional. Pertemuan pertama Exposure Talks ini mengangkat judul “Life in Japan” dengan narasumber E. Aradipka Haninda P. atau Dipka. Dipka merupakan alumni jurusan Ilmu Hubungan Internasional yang pernah melakukan pertukaran pelajar ke Jepang, tepatnya di Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) selama setahun.

Diskusi ini dipandu oleh Raissa Almira atau Raissa, staf GEO FISIPOL, sebagai moderator. Diskusi dibuka dengan perkenalan dari moderator dan narasumber, tidak lupa, moderator juga menyampaikan imbauan singkat mengenai aturan diskusi. Sebagai pengantar, Raissa bertanya pada para peserta apa saja yang ingin diketahui dari narasumber terkait dengan studi di Jepang. Menanggapi antusiasme peserta yang bertanya, Raissa pun mempersilakan Dipka untuk menjawab. Sebelum memberikan jawabannya, Dipka menerangkan mengenai tahapan awal dari pertukaran pelajar, yaitu proses pendaftaran (application) dan settling in terlebih dahulu.

Dipka menerangkan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam proses pendaftaran atau application process, yaitu mengecek laman kantor urusan internasional, melengkapi dokumen dan berkas, barulah setelah itu akan mendapatkan Letter of Acceptance (LoA). Laman pertama yang harus dituju adalah Kantor Urusan Internasional atau OIA, untuk melihat universitas mana saja yang bekerja sama dengan universitas asal. Laman itu juga akan menguraikan tenggat waktu dan berkas administrasi yang harus dipenuhi. Ada beberapa berkas administrasi yang pasti diminta, seperti transkrip, surat rekomendasi, dan IELTS/TOEFL. Rentang waktu dari pendaftaran hingga mendapat pengumuman diterima atau Letter of Acceptance memakan waktu sekitar 2-3 bulan. Dipka bercerita, ia mendaftar pada bulan April dan mendapat pengumuman diterima sekitar bulan Juni. Setelah itu Dipka langsung mengurus visa dan berangkat ke Jepang pada akhir Agustus

Setelah berangkat, tahap selanjutnya yang harus dijalani oleh para peserta pertukaran pelajar adalah settling in. Beberapa hal yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah belajar sedikit bahasa negara yang dituju, berkomunikasi dengan buddy, mengikuti orientasi dan berkenalan dengan orang lain, dan mengikuti kegiatan atau acara kampus. Jika melakukan pertukaran pelajar ke Jepang, akan sangat baik untuk belajar sedikit bahasa Jepang sebelum berangkat—setidaknya survival Japanese, imbau Dipka. Di Jepang, selain pelajar atau mahasiswa, sangat sedikit orang yang bisa berbahasa Inggris, terutama saat di stasiun kereta api atau toko-toko. Perihal buddy, Dipka bercerita bahwa TUFS memberikan buddy pada para peserta pertukaran pelajar sejak sebelum peserta sampai di Jepang. Biasanya, TUFS akan mengalokasikan buddy yang bisa atau sedang belajar bahasa dari negara asal peserta pertukaran pelajarnya.

Untuk sistem pendidikan di TUFS sendiri cukup mirip dengan di UGM, yaitu menggunakan sistem semacam SKS. Tentunya, terdapat kelas yang menggunakan bahasa Jepang dalam proses pembelajarannya. Para peserta pertukaran pelajar juga boleh mengambil RyuuGakusei apabila sudah menguasai N3/N2 JLPT (Japanese Language Proficiency Test). Meski begitu, kelas yang menggunakan bahasa Inggris pun tidak sedikit, cukup banyak dengan ukuran kelas relatif lebih kecil karena materinya lebih spesifik. Ada tiga departemen di TUFS, yaitu School of Language and Cultural Studies, School of Japan Studies, dan School of International and Area Studies. Para peserta pertukaran pelajar dibebaskan mengambil kelas dari departemen mana pun. Dipka sendiri mayoritas mengambil kelas dari School of International and Area Studies karena sesuai dengan departemen asalnya, yaitu Ilmu Hubungan Internasional. Sebelum melanjutkan ke topik berikutnya, Dipka menyelingi materi dengan menjawab pertanyaan yang disampaikan peserta di awal diskusi tadi.

Diskusi dilanjutkan dengan pembahasan mengenai kehidupan di Jepang, mulai dari biaya hidup, destinasi wisata, hingga budaya. Untuk masalah biaya hidup, Dipka menyampaikan bahwa dalam sebulan bisa mencapai 80.000-120.000 yen, dengan rincian biaya tinggal di asrama kampus, biaya makan, dan biaya transportasi jika ingin jalan-jalan ke pusat kota. Tentu saja biaya hidup akan lebih hemat dan terbantu apabila membawa masakan sendiri, mendapat beasiswa JASSO, dan bekerja paruh waktu. Mengenai destinasi wisata, Dipka menyampaikan ada banyak tempat dan kegiatan yang dapat dikunjungi di Tokyo, antara lain Shibuya Crossing dan patung Hachiko; Takeshita Street; Tokyo Disneyland and Disneysea; Akihabara; Kamakura; berbagai macam taman seperti Shinjuku Goen atau Inokashira park; Shimokitazawa; dan masih banyak lagi.

Dipka juga bercerita, di TUFS ada sebuah acara bernama “Gaigosai” atau Festival Borderless yang biasa diadakan setiap bulan November. Mahasiswa Jepang dari berbagai jurusan bahasa akan membuka booth yang menyajikan makanan dan cultural facts tentang negara yang bahasanya sedang mereka pelajari. Akan ada tarian, penayangan film, dan permainan juga. Gaigosai di TUFS adalah yang paling terkenal di Jepang, sehingga para mahasiswa dari penjuru Tokyo dan kota lain akan datang ke sini. Kuliah pun diliburkan selama seminggu untuk penyelenggaraan Gaigosai.

Diskusi ditutup dengan sesi tanya jawab yang dibuka satu termin dengan tiga orang penanya. Dipka menjawab pertanyaan dari masing-masing penanya dengan sangat runtut dan detail. Acara pun ditutup pukul 12.06. Meski diskusi sudah selesai, Raissa dan Dipka tetap mempersilakan peserta yang masih memiliki pertanyaan untuk bertanya melalui email Dipka atau akun Instagram resmi GEO FISIPOL UGM. (/Hfz)