Menelaah Kecerdasan Buatan di Kehidupan Modern, Seberapa Cerdaskah Mereka?

Yogyakarta, 26 Juni 2019—Bicara mengenai teknologi, artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah membawa banyak manfaat pada kehidupan kita saat ini. Hal ini pun dibahas oleh Center for Digital Society (CfDS) dalam Digital Future Discussion (Difussion) yang ke-13 bertajuk “Seberapa Cerdaskah Kecerdasan Buatan?” Rabu kemarin di Warunk Upnormal Gejayan yang dibawakan oleh tiga peniliti CfDS.

Di kehidupan sehari-hari, Theodore Great memaparkan bahwa AI di bidang kesehatan berguna untuk mengumpulkan data medis, dijadikan pola dan kesimpulan medis dari tiap kasus. Nantinya, AI bisa membantu dokter mendiagnosis penyakit oleh learning machine. Di bidang musik, AI juga bisa memproduksi penyanyi digital seperti Miquela Sousa di Instagram.  “Namun tetap, AI memang tidak dapat mengalahkan penyanyi asli karena musik bukan cuma suara, tapi juga dari social life yang bisa diikuti,” ujar Great. Lewat algoritma yang dimiliki AI, internet dan sosial media yang kita gunakan sehari-hari dapat dengan mudah mengetahui preferensi kita tentang selera musik, hobi, hingga cita rasa.

Selanjutnya, Janitra Haryanto mencoba mengulik manfaat AI dalam bidang politik. Saat ini, AI dapat digunakan untuk mengelola konten terkait pencalonan, kampanye serta mengelola informasi dan menguji integritas pemimpin. Bahkan, di Selandia Baru ada robot politisi yang bisa jadi pilihan untuk merepresentasikan seorang Perdana Menteri, masyarakat pun mengklaim robot dapat lebih mudah dalam merealisasikan aspirasi mereka.

“Permasalahannya, konteks pemetaan demokrasi yang sangat barat kebijakannya sangat pragmatis, dukungan seperti ini tidak terjadi di semua tempat. Hal ini sangat mungkin dilakukan di Selandia Baru karena budaya politiknya sangat rasional.” ujar Janitra. “Indonesia akan lebih sulit menerima teknologi ini karena budaya politiknya yang cenderung konservatif dan masih menggunakan politik identitas,” tambah Janitra.

Di bidang hukum, Anisa Pratita Mantovani memaparkan bahwa Singapura sudah memilki robot pengganti hakim yang mencegah adanya emotional bias, melalui algoritma yang sudah diukur oleh AI, robot bisa menghasilkan keputusan yang adil. “Bebasnya robot dari rasa dan pengaruh emosional lain yang tak seperti manusia justru dapat membuatnya melihat sesuatu secara objektif dan lebih adil”, ungkap Tita.

Di bidang hukum pula, regulasi terhadap AI perlu dilakukan. Contohnya dibidang militer, pengembangan robot perang untuk memusnahkan target dilakukan berdasarkan wilayah atau panas tubuh. Alasan pemakaian robot ini pun didasari biaya murah dan akurat. “Ketika Amerika mengirim tentara, dibutuhkan anggaran biaya serta biaya makan, pakaian, asuransi dan kesejahteraan. Maka pemakaian robot akan jauh lebih efektif, meskipun sebenarnya sudah ada tekanan untuk tidak memakai robot salah satunya dari ICRC atau Palang Merah Internasional,” tambah Tita.

Regulasi dalam mengelola AI perlu jadi inisiatif global dengan prinsip fairness, transparency, privacy dan multistakeholder yang diikuti literasi oleh masyarakat dengan tujuan melindungi data, serta penyalahgunaan AI untuk tujuan yang tidak baik.

AI memang berguna dan mempermudah manusia dalam menjalankan urusannya. Meskipun begitu, keberadaan AI dinilai harus punya regulasi dan kontrol ketat dari manusia sebagai pembuatnya. Hal ini bertujuan supaya AI benar-benar dapat memberi manfaat secara efektif, namun pada saat yang sama juga dapat diminimalisasi dampak buruk atau negatifnya. (/Afn)