Menelisik Refleksi RUU Ketahanan Keluarga dari Perspektif Pemuda dan Perempuan dalam Bincang Muda YouSure

Yogyakarta, 27 Maret 2020—Youth Studies Center atau YouSure FISIPOL kembali mengadakan diskusi Bincang Muda. Diskusi Online Bincang Muda YouSure bertajuk “Refleksi RUU Ketahanan Keluarga dalam Perspektif Pemuda dan Perempuan” ini dilakukan dengan metode daring melalui WhatsApp Group. Para peserta yang tergabung dalam Bincang Muda kali ini sebelumnya mendaftar melalui pranala yang diunggah di akun Instagram YouSure FISIPOL. Diskusi dimulai pukul 18.00 dan beberapa jam sebelum diskusi dimulai, para peserta dihubungi untuk dimasukkan ke WhatsApp Group yang disediakan.

Diskusi Online Bincang Muda YouSure dipandu oleh Magdalena Putri sebagai moderator yang merupakan Project Officer & Research Assistant YouSure. Setelah memaparkan tata tertib diskusi, moderator memperkenalkan dua pemateri Diskusi Online Bincang Muda YouSure kali ini yaitu Dana Fahadi selaku Project Officer & Research Assistant YouSure dan Rosana Yuditia Ripi dari Feminis Yogyakarta. Mbak Rosana Yuditia Ripi atau Mbak Ripi sendiri sudah terjun di dunia gerakan perempuan dan anak sejak tahun 2004. Awalnya, Mbak Ripi memulai gerakannya di Surabaya dan tahun 2020 ini merupakan tahun ketiganya di Yogyakarta. Sementara itu, Mbak Dana Fahadi atau Mbak Dana selain sebagai Project Officer & Research Assistant YouSure, juga mengajar kelas internasional di Departemen Ilmu Komunikasi UGM.

Moderator memantik diskusi dengan bertanya pada peserta mengenai problematika kemunculan RUU Ketahanan Keluarga. Mbak Dana menanggapi bahwa permasalah terbesar dari RUU Ketahanan Keluarga terletak pada ikut campurnya negara terhadap ranah privat, terutama dalam mengatur peranan suami dan istri. Padahal kenyataannya, kondisi dan kebutuhan setiap keluarga berbeda-beda, sehingga tidak bisa disamakan. Mbak Ripi menambahkan tanggapan tersebut, bahwa ada banyak pasal yang sangat bias jender karena sangat jelas mengatur peranan laki-laki dan perempuan yang bersumber pada budaya patriarki. Padahal, budaya partiarki sudah sejak lama ingin dilawan oleh gerakan perempuan di Indonesia.

Mbak Ripi kemudian menjelaskan mengenai isu jender yang menjadi masalah utama dalam RUU Ketahanan Keluarga. Dalam tatanan sosial, terdapat pembagian peranan yang biasa disebut jender. Namun yang menjadi permasalahan adalah kita dihadapkan pada budaya yang menganut nilai-nilai patriarki yang memberikan keuntungan lebih banyak pada manusia berjenis kelamin laki-laki daripada manusia berjenis kelamin perempuan. Contohnya pada peranan merawat anak hanya dilekatkan pada perempuan saja karena terlahir dengan memiliki kapasitas hamil dan melahirkan. Mbak Dana menambahkan bahwa pembagian peran jender itu awalnya didasarkan dari fisik dengan dengan dalih “kodrat” sebagai justifikasi. Padahal, jender sendiri merupakan produk dari konstruksi sosial.

Selain itu, RUU Ketahanan Keluarga juga mengatur hal-hal lain dengan dalih melanggar kodrat, seperti LGBTQ+ dan BDSM, juga menggunakan terminologi yang kurang tepat, seperti seks bebas. Menurut Mbak Ripi, definisi seks bebas lebih mengacu pada bebas melakukan seks dengan siapa pun tanpa ada consent yang jelas. Terminologi yang lebih baik dipakai adalah seks aman. Dengan itu, daripada melarang manusia melakukan seks bebas malah lebih baik adalah edukasi untuk melakukan seks aman.

RUU Ketahanan Keluarga juga memiliki dampak pada para pemuda. Seperti yang dipaparkan oleh Mbak Dana, pemuda LGBTQ+ tidak bisa menjalankan fungsi-fungsi sebagai agen perubahan apabila ‘dipaksa’ mengikuti terapi homoseksual, karena akan menimbulkan trauma akan terjadi penolakan di masyarakat. Selain itu, pemuda juga akan kesulitan dalam memaksimalkan potensinya karena mengemban tugas-tugas yang bias jender seperti laki-laki harus melindungi keluarga dan perempuan harus menjaga keutuhan keluarga. Padahal, tugas-tugas tersebut membutuhkan kerja sama kedua belah pihak. Pemuda juga berpotensi menjadi korban kekerasan, seperti kekerasan sistem, KDRT, dan kekerasan finansial.

Diskusi ditutup dengan sesi tanya jawab dengan tiga pertanyaan dari peserta. Selain menjawab pertanyaan dari para penanya, kedua pemateri juga memberikan konklusi penutup di akhir sesi tanya jawab. Meskipun RUU Ketahanan Keluarga sudah ditolak, namun permasalahan tentang ketahanan keluarga masih menjadi isu yang penting bagi masyarakat. Selain kalangan yang sudah berkeluarga, pemuda, baik perempuan maupun laki-laki, juga penting untuk memerhatikan isu ketahanan keluarga ini. Kita sebagai masyarakat juga perlu mengubah tatanan dan cara pikir kita tentang isu ketahanan keluarga, karena sejatinya perubahan ada di tangan kita, masyarakat, khususnya pemuda sebagai agen perubahan. (/Hfz)