Mengingat Kembali Bahaya Tindak Plagiarisme dalam Digital Discussion #15 “Plagiarism, No More!”

Yogyakarta, 2 April 2020—Plagiarisme tampaknya menjadi topik yang sangat dekat dengan para mahasiswa sebab tiap tugas yang dikerjakan harus terbebas dari unsur plagiarisme. Ditambah lagi, sekarang sudah mulai memasuki musim ujian tengah semester—yang artinya mahasiswa harus menghadapi serangkaian tugas pengganti UTS, isu plagiarisme menjadi sangat penting untuk dikulik dan diingatkan kembali. Oleh karena itu, Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM mengangkat topik plagiarisme dalam Digital Discussion #15 dengan tajuk “Plagiarism, No More!” yang diadakan lewat platform WhatsApp.

Diskusi ini dimoderatori oleh Made Agus Bayu Sudharma atau Mas Bayu selaku event staff CfDS. Sejak setengah jam sebelum diskusi dimulai, moderator sudah mengingatkan di grup bahwa diskusi akan segera dimulai. Tepat pukul 19.00, moderator memulai diskusi dengan memperkenalkan diri dan menyampaikan aturan diskusi. Kemudian, moderator menyampaikan maaf karena adanya pergantian pembicara. Pembicara sebelumnya, Amelinda P. Kusumaningtyas atau Mbak Amel selaku Project Officer of Research CfDS berhalangan hadir sehingga digantikan oleh Trevilliana Eka Putri atau Mbak Trevi selaku Manager of Research CfDS.

Sebagai pembukaan dari diskusi, Mas Bayu bertanya pada para peserta diskusi mengenai pengertian dari plagiarisme itu sendiri. Jawaban dari para peserta diskusi pun ditanggapi oleh Mbak Trevi dengan menjelaskan definisi tindak plagiat berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan No. 17 Tahun 2010 yang berbunyi, “Plagiat adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.” Dalam pengertian tersebut, sebut Mbak Trevi, ada empat faktor untuk melihat bagaimana sebuah karya atau tulisan dapat dilihat sebagai tindakan plagiarisme atau bukan, yaitu  sengaja maupun tidak sengaja, kredit atau nilai, sebagian atau seluruh, dan pernyataan terkait sumber secara tepat dan memadai.

Mbak Trevi kemudian melanjutkan penjelasannya mengenai plagiarisme dengan memaparkan bentuk-bentuk plagiarisme, yang terdiri dari plagiarisme kata demi kata, plagiarisme atas sumber, plagiarisme kepengarangan, dan self-plagiarism. Tindakan mendaur ulang karya tulis atau karya ilmiah milik sendiri tanpa perubahan yang berarti adalah bentuk self-plagiarism. Mbak Trevi menambahkan, di beberapa universitas yang memberlakukan sistem submisi tugas melalui aplikasi seperti Turnitin, bentuk self-plagiarism akan sangat mudah terdeteksi karena mesin menyimpan data-data tugas tiap mahasiswa yang sudah lalu. Tindakan plagiat tentu memiliki konsekuensi tersendiri. Dalam Peraturan Menteri yang sama, disebutkan bahwa bentuk konsekuensi dari tindak plagiat meliputi teguran, peringatan tertulis , penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa, pembatalan nilai, pemberhentian dengan hormat dari status sebagai mahasiswa, pemberhentian tidak dengan hormat dari status sebagai mahasiswa, dan pembatalan ijazah apabila telah lulus dari proses pendidikan. Konsekuensi ini tentu disesuaikan dengan tingkat keparahan tindak plagiat yang dilakukan dan tingkat toleransi plagiarisme tiap universitas, departemen, dan dosen.

Untuk menghindari tindak plagiarisme, maka yang perlu dilakukan oleh penulis adalah mencantumkan referensi dan sumber. Pencantuman ini tidak hanya dilakukan secara tepat, dalam artian benar-benar terdapat sitasinya dalam tulisan, tetapi juga secara memadai dengan menuliskan referensi yang sesuai. Mbak Trevi menjelaskan bahwa terdapat dua jenis sitasi, yaitu sitasi langsung dan sitasi tidak langsung. Sitasi langsung dilakukan dengan pengutipan, sedangkan sitasi tidak langsung dilakukan dengan parafrase. Baik untuk jenis sitasi langsung maupun tidak langsung, keduanya tetap harus mencantumkan sumber atau referensi pada daftar pustaka. Berdasarkan penjelasan Mbak Trevi, para dosen cenderung lebih menyukai sitasi tidak langsung dengan parafrase, sebab penggunaan sitasi tidak langsung dapat meringkas tulisan yang sangat panjang menjadi hanya satu atau dua kalimat. Selain itu, teknik parafrase juga mengindikasikan kalau mahasiswa memahami makna atau pesan yang ingin disampaikan penulis.

Sementara itu, untuk penulisan referensi sendiri dapat dilakukan dengan membuka panduan referensi. Terdapat banyak panduan penulisan referensi dengan berbagai macam gaya yang bisa dipelajari melalui laman seperti Mendeley, Zotero, dan sebagainya. Beberapa gaya penulisan referensi yang umum digunakan adalah gaya Harvard, MLA, APA, Chicago, Turabian, dan lainnya. Mbak Trevi menjelaskan salah satu kesalahan terkait referensi yang banyak ditemui adalah kredibilitas sumber yang diragukan. Contohnya, dalam satu karya tulis atau artikel, sitasi yang digunakan hanya dari koran daring; mencantumkan artikel daring yang sebenarnya satir; atau, mengambil sumber dari berita atau penulis yang tidak netral dan berat sebelah. Untuk itu, Mbak Trevi menyebutkan beberapa laman yang dapat digunakan untuk memperoleh sumber yang kredibel, seperti Google Scholar, Microsoft Academic Search, Open Library, UGM Summon, dan Researcher.

Diskusi ditutup dengan sesi tanya jawab yang dibuka dua termin dengan total empat orang penanya. Di sela-sela sebelum masuk ke sesi tanya jawab termin kedua, Mas Bayu selaku moderator juga turut memberikan pertanyaan. Mbak Trevi menjawab pertanyaan dari masing-masing penanya dengan sangat runtut dan detail. Mbak Trevi juga menyertakan contoh konkret dalam jawabannya agar lebih dipahami oleh para peserta, khususnya penanya. Acara pun ditutup tepat pukul 21.00. Meski diskusi sudah selesai, Mas Bayu dan Mbak Trevi tetap mempersilakan peserta yang masih memiliki pertanyaan untuk bertanya via akun Instagram maupun Twitter resmi CfDS.