Menguak Perspektif Korban Selamat dan Pengasingan 1965-1966 atas Resolusi Non-Yudisial Pelanggaran HAM

Yogyakarta, 15 Februari 2024─Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL bersama Global Campus Asia-Pasific dan Pares gelar workshop seminar bertajuk “Non-judicial Resolutions on Human Rights Violation: Perspective from the 1965-1966 Domestic Survivors and Exiles” di Amphitheater BRIWORK FISIPOL UGM dan Live Streaming Youtube DPP UGM pada Kamis (15/02). Workshop ini bertujuan membahas inisiasi Presiden Joko Widodo atas resolusi non-yudisial untuk mengatasi keterbatasan hak korban selamat di bawah rezim Soeharto dan pengakuan 12 pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia, termasuk tragedy 1965-1966 dari perspektif korban dan eksil. Inisiasi tersebut mendapat kritis dari aktivis HAM karena resolusi tersebut dianggap membuat sejarah pelanggaran HAM menjadi tidak jelas.

Evi Lina Sutrisno, Dosen DPP Fisipol dalam pembukanya menyebut bahwa di Indonesia pernah mengalami pelanggaran HAM berat, mengacu pada kasus 30 September 1965 atas pembunuhan 7 jenderal yang hingga kini belum jelas siapa yang bertanggungjawab pada pembunuhan tersebut, hingga penindasan massal, penahanan, penyiksaan, penghilangan paksa dan pembunuhan terhadap anggota PKI, para pendukung atau orang yang diduga memiliki kecenderungan kiri atas perintah Soeharto. 

“Ada sekitar 1 juta korban secara total. Propaganda anti-komunisme dan PKI berlangsung selama 32 tahun pemerintahan Soeharto. Hingga kini para korban yang selamat menghadapi diskriminasi dan pembatasan dari pemerintah,” jelas Evi.

Pipit Ambarmirah, representasi dari Kiprah Perempuan Indonesia, organisasi perempuan penyintas tahun 1965-1966 menyebut bahwa korban ‘65 telah mengalami banyak kekerasan, seperti kekerasan verbal, fisik, kekerasan di pelantungan, kekerasan seksual, hingga kekerasan finansial. “Diskriminasi yang dihadapi korban masih bertahan hingga hari ini, seperti pelarangan mendaftar PNS dan ABRI, adanya intimidasi, hingga penanda KTP yang dibedakan,” ungkap Pipit.

Sementara itu, Atrien Utrecht, Sekretaris Watch ’65, sebuah asosiasi pengasingan dan aktivis yang menjadi relawan untuk Pengadilan Rakyat Internasional 1965 yang diadakan pada November 2015 di Den Haag, menjelaskan sudut pandang dari orang-orang eksil. 

“Mereka adalah orang-orang yang pada saat kudeta Suharto tahun 1965 terjadi berada di luar negeri. Dan karena konsekuensi dari kudeta tersebut, mereka tidak dapat pulang,” jelas Atrien.

Atrien menyebut bahwa terdapat dua kelompok eksil, yaitu kelompok mahasiswa yang dikirim belajar keluar negeri dan orang-orang yang berada dalam pelayanan diplomatik negara lain seperti duta besar atau staf kedutaan serta para delegasi. Para mahasiswa yang menolak untuk tunduk pada Soeharto dicabut paspornya dan menjadi migran paksa karena tidak bisa pulang. Hingga pada 1998 situasi sedikit membaik selama pemerintahan Gusdur yang memberikan paspor kepada pengasing, meskipun tidak bertahan lama karena pelengseran Gusdur.

Atrien juga menyebut bahwa PPHAM tidak masuk akal. “Bagaimana Anda dapat benar-benar merehabilitasi seorang penyintas, apalagi melakukan reformasi untuk memastikan ketidakkembaliannya, jika Anda bahkan belum menetapkan kebenaran,” jelasnya. Menurutnya, yang dibutuhkan pengasing adalah permintaan maaf resmi dari pemerintah, maaf atas semua ketidakadilan yang telah dilakukan kepada mereka dan mengembalikan nama baik mereka di mata publik. (/dt)