Menilik Kembali Pemilu 2019 dan Implikasinya untuk Masa Depan

Yogyakarta, 19 Oktober 2022–Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) FISIPOL UGM bekerja sama dengan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) dalam menyelenggarakan Diskusi Buku The Jokowi-Prabowo Election 2.0 pada Rabu (19/10) yang dilaksanakan secara bauran di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM. Acara ini menghadirkan narasumber yang juga merupakan editor dan penulis buku, yaitu Made Supriatma, Max Lane, dan Budi Irawanto serta dimoderatori oleh Amalinda Savirani, dosen DPP FISIPOL UGM.

Made Supriatma mengawali diskusi dengan memaparkan pemetaan isi buku yang mengelaborasikan tentang interpretasi jalannya Pemilu 2019 serta implikasinya. “Kita melihat dengan kacamata perbandingan antara (Pemilu) 2014 dengan (Pemilu) 2019. Kontestasinya hampir mirip, tetapi dengan koalisi dan dinamika yang berbeda,” ujar Made.

Menurut Made, Pemilu 2019 menunjukkan bahwa pembelahan berdasarkan identitas semakin masuk dalam politik Indonesia. Terlebih, peran cyberpolitic semakin tereskalasi dengan signifikansi media sosial dan internet di masyarakat. Hal tersebut membuat perdebatan politik terbawa hingga memasuki ranah pribadi. Meskipun demikian, hal tersebut tidak meniadakan pemilih yang cenderung bersikap rasional.

Berbeda dengan Made yang mengisyaratkan adanya polarisasi politik dalam Pemilu 2019, Max Lane menyatakan bahwa menurutnya, polarisasi tersebut hanyalah taktik kedua kubu untuk meraup suara. “Tidak ada perbedaan substantif dalam hal kebijakan ekonomi politik antara kedua kubu,” jelas Lane. Asumsi tersebut semakin menguat ketika Prabowo dengan mudahnya masuk dalam pemerintahan Jokowi. “Jika ada perbedaan tajam mengenai arah pembangunan antar partai, tidak mungkin bisa begini,” tegas Lane.

Lebih lanjut, Lane menjelaskan bahwa Pemilu 2019 mencerminkan adanya absolutisme dalam kehidupan politik mainstream yang hanya mewakili satu kelas. Hal tersebut terlihat dari hal-hal substantif dari tiap partai politik yang cenderung sama, “Substantifnya sepakat karena mencerminkan bahwa hanya satu kelas, yaitu elit, yang boleh bermain politik”, tukas Lane. Hal itu semakin terlihat dari absennya partai yang berasal dari akar rumput. Terlebih, menurut Lane, tidak ada kekuatan politik yang bersifat oposisi, melainkan kekuatan oposisi sosial dalam bentuk gerakan-gerakan masyarakat sipil.

Budi Irawanto melanjutkan diskusi dengan memaparkan temuannya mengenai Pemilu 2019 di Jawa Tengah. Provinsi Jawa Tengah yang menjadi daerah yang menarik karena merupakan salah satu penentu kemenangan Jokowi-Ma’ruf dalam Pemilu 2019. Meskipun kubu Prabowo-Sandi pada saat itu gencar melakukan intervensi melalui upaya politik identitas berbasis agama, tetapi kemenangan di Jawa Tengah mutlak dimiliki oleh Jokowi. “Rupaya, karakter figure Jokowi sebagai ‘orang biasa’ sangat dekat dengan masyarakat di sana dan lebih beresonansi ketimbang figure Prabowo yang berasal dari Jakarta,” ungkap Budi.

Budi menutup pemaparannya dengan pertanyaan yang masih harus dijawab, yaitu apakah politik identitas akan terus mewarnai Pemilu 2024? Apakah pemilih akan lebih melihat aspek pribadi calon presiden ketimbang visi misi partai politiknya? (/tt)