Yogyakarta, 23 Oktober 2023─Dewasa ini, diskursus mengenai hak-hak penyandang disabilitas semakin berkembang ditengah masyarakat. Hal tersebut menunjukkan pentingnya hak-hak disabilitas untuk turut menjadi perhatian dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam lingkungan kampus. Sebagai institusi pendidikan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM memahami urgensi menciptakan kampus yang inklusif dan ramah terhadap penyandang disabilitas. Nurhadi Susanto, Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset, dan Sumberdaya Manusia, menyatakan dengan tegas bahwa saat ini, Fisipol siap berada di garis terdepan dalam upaya mengadaptasikan konsep kampus yang inklusif.
Terdapat beberapa aspek kunci yang menjadi perhatian Nurhadi dalam mengembangkan kampus Fisipol yang inklusif, yaitu dari aspek Sumber Daya Manusia (SDM), sarana prasarana, serta ekosistem yang terbangun. “Kalau bicara soal Kampus Inklusif, SDM-nya harus tanggap dalam merespons dan berinteraksi dengan civitas akademika maupun tamu yang ada di kampus,” ungkap Nurhadi dalam wawancara pada Senin (16/10). Hal tersebut bukanlah sebuah proses yang mudah dan cepat mengingat tidak semua orang memiliki pengalaman berinteraksi dengan difabel. Oleh karena itu, diperlukan waktu yang tidak sebentar serta proses yang bertahap untuk memperkenalkan cara yang tepat untuk merespons orang-orang dengan disabilitas.
“Ketika sudah paham mengenai cara bersikap dan merespons, yang tidak kalah penting yaitu sarana prasarana yang ramah difabel,” tukas Nurhadi. Nurhadi mengakui bahwa masih terdapat banyak hal yang harus dibenahi oleh Fisipol berkaitan dengan fasilitas dan infrastruktur fisik yang masih belum ramah disabilitas. Saat ini, Fisipol sendiri tengah berada dalam proses pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut, seperti instalasi guiding block, ramp, serta handrail atau pegangan tangan dalam lift. Selain itu, rencana untuk memperbaiki aksesibilitas fasilitas toilet yang kurang akomodatif bagi pengguna kursi roda juga tengah diupayakan.
“Fisipol memang sangat bersemangat dan berkomitmen untuk menginvestasikan fasilitas yang ramah difabel,” tegas Nurhadi. Untuk memastikan bahwa proses pembangunannya tepat dan sesuai, Fisipol melibatkan teman-teman difabel untuk memantau dari proses perencanaan, implementasi, hingga saat digunakan.
Selain kedua aspek di atas, Nurhadi juga menekankan pentingnya membangun ekosistem yang inklusif di antara individu dan komunitas akademik. “Saya kira ini ruh dari inklusivitas. Kita berbicara soal humanisme, hak, dan kewajiban bagi semua pihak,” kata Nurhadi. Fisipol UGM percaya bahwa kampus yang inklusif adalah tanggung jawab bersama yang harus diperjuangkan oleh seluruh warga kampus, dan bersama-sama, mereka akan menciptakan sebuah lingkungan yang menerima, inklusif, dan berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Upaya Fisipol menjadi kampus inklusif ini sejalan dengan SDGs 4 (Pendidikan), SDGs 10 (Berkurangnya Kesenjangan), dan SDGs 11 (Kota yang Berkelanjutan). (/tt)