
Seoul, 26 Juni 2025—Isu perubahan iklim kian mendesak untuk ditanggapi secara global, tetapi penyebaran informasi palsu justru menjadi penghambat utama dalam membangun kesadaran dan aksi yang konkret. Dalam forum internasional bergengsi The 9th Climate Energy Summit yang digelar di Seoul, Korea Selatan, Dr. Novi Kurnia, dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM sekaligus peneliti utama di Centre for Digital Society (CfDS) UGM, tampil sebagai salah satu pembicara utama yang menyampaikan perspektif kritis dari Global South terkait maraknya misinformasi dan disinformasi iklim.
Dalam pidatonya, Dr. Novi Kurnia menekankan bahwa walau kesadaran publik terhadap krisis iklim mengalami peningkatan, arus informasi palsu yang terus membanjiri platform digital telah menciptakan kabut kebingungan yang memperlambat respons publik. Disinformasi ini sering mengangkat narasi yang berulang: menyangkal keberadaan perubahan iklim, meremehkan kontribusi manusia terhadap krisis iklim, atau meragukan efektivitas kebijakan lingkungan. “Kita tidak hanya butuh data ilmiah,” tegas Dr. Novi Kurnia, “tetapi juga komunikasi yang membangun kepercayaan, inklusif, dan berbasis konteks lokal.”
Ia turut membagikan temuan dari riset terbarunya di Indonesia, yang menunjukkan bahwa 98% responden mengidentifikasi media sosial sebagai sumber utama misinformasi iklim, dan sebagian besar masih terjebak dalam teori konspirasi yang tidak berdasar. Ironisnya, meskipun banyak yang mengklaim mampu mengenali informasi palsu, hanya segelintir yang aktif dalam menciptakan konten klarifikasi. Kesenjangan antara kesadaran dan aksi ini, menurutnya, menandai perlunya peningkatan literasi digital, dukungan kelembagaan seperti platform cek fakta, serta narasi yang relevan dengan pengalaman masyarakat lokal.
Pidato ini sejalan erat dengan sejumlah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya:
– SDG 13: Climate Action, yang menegaskan urgensi aksi kolektif terhadap perubahan iklim, termasuk dalam perang melawan disinformasi yang menghambat gerakan global tersebut;
– SDG 4: Quality Education, yang meliputi peningkatan literasi informasi dan kapasitas berpikir kritis masyarakat;
– serta SDG 10: Reduced Inequalities, dengan penekanan pada pentingnya menjamin bahwa suara dari Global South tidak hanya terdengar, tetapi juga memiliki posisi yang setara dalam percakapan global.
Lebih lanjut, Dr. Novi Kurnia menggarisbawahi pentingnya akuntabilitas platform digital. Algoritma yang tidak transparan, lemahnya moderasi konten, dan minimnya dukungan pada inisiatif edukatif membuat ekosistem informasi rentan terhadap manipulasi. Ia mendorong platform digital untuk lebih bertanggung jawab dalam mendukung jurnalisme iklim, membiayai pengecekan fakta, dan menciptakan alat bantu literasi media yang inklusif.
Poin penting lainnya adalah akses terhadap informasi kredibel di kalangan komunitas yang kurang terlayani. “Keadilan iklim tidak akan tercapai jika hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki akses terhadap informasi yang benar,” ujar Dr. Novi Kurnia. Ia menyerukan agar narasi iklim juga mengangkat suara-suara lokal yang selama ini terpinggirkan dari arus informasi global.
Dalam sesi penutup, Dr. Novi Kurnia juga membahas potensi dan tantangan kecerdasan buatan (AI) dalam melawan disinformasi. AI memiliki kemampuan untuk mendeteksi pola penyebaran hoaks secara cepat dan masif, namun juga menyimpan risiko bias, kurangnya transparansi, dan persoalan etika lainnya. Menurutnya, “peran manusia—terutama dari komunitas lokal dengan konteks sosial-budaya yang spesifik—tetap krusial dan tidak bisa digantikan.”
Ia juga memperkenalkan berbagai inisiatif akar rumput di Indonesia yang berfokus pada peningkatan kapasitas masyarakat untuk memproduksi konten iklim yang berbasis fakta dan konteks lokal, sambil memperkuat kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan platform teknologi.
Forum ini turut menghadirkan pembicara internasional dari berbagai lembaga strategis, antara lain Somya Joshi dari Stockholm Environment Institute (SEI), Daniel Castro dari ITIF dan Center for Data Innovation, Minjung Jin dari Korea Press Foundation, YongNyuo Shin dari Microsoft Korea, serta Jaegul Lee dari Korea Electric Power Corporation Research Institute.
Dengan lebih dari 400 peserta hadir secara daring dan luring, The 9th Climate Energy Summit menjadi arena penting untuk memperkuat komitmen global terhadap aksi iklim yang tidak hanya berbasis sains, tetapi juga berpijak pada etika komunikasi, keadilan sosial, dan kekuatan informasi. Dalam suasana yang penuh urgensi dan kolaborasi, suara dari Global South—melalui sosok seperti Dr. Novi Kurnia—menjadi pengingat bahwa keadilan iklim adalah perjuangan bersama, yang dimulai dari informasi yang benar.