Oposit #4: Wacana New Normal, Apakah Kamu Setuju?

Yogyakarta, 17 Juni 2020 – Center for Digital Society atau CfDS Fisipol UGM kembali menyelenggarakan program barunya, yaitu Oposit atau Obrolan dan Opini Seputar Dunia Digital pada Rabu (17/6). Pada sesi kali ini, Oposit seri keempat membawakan topik obrolan tentang new normal yang saat ini sedang menjadi wacana pemerintah. Seperti yang kita tahu, pada tanggal 7 Mei 2020, Presiden Joko Widodo mulai melemparkan kebijakan tentang new normal kepada publik dengan menggunakan terminologi tatanan hidup yang baru, yaitu berdamai dengan COVID-19 untuk beberapa waktu ke depan. Kebijakan tersebut tentu saja akan dilaksanakan untuk menyelamatkan aktivitas perekonomian yang mulai kehabisan napasnya. Namun, wacana tersebut menjadi polemik yang ramai diperbincangkan oleh berbagai pihak karena Indonesia dinilai belum memenuhi syarat new normal sesuai konsep WHO. Pasalnya, indikator terpenting diberlakukannya new normal adalah kurva perkembangan COVID-19 yang sudah melandai, tetapi beberapa hari terakhir Indonesia bahkan mencapai puncaknya dengan penambahan 1000 kasus perhari.

Dengan adanya wadah Oposit ini, peserta diberi kesempatan untuk mendeklarasikan opininya secara bebas terkait pro kontra new normal dengan mengajukan permintaan bergabung dalam siaran langsung bersama di instagram @cfds­_ugm yang kemudian akan diterima oleh host. Partisipan pertama yang mendapat kesempatan untuk menyalurkan pemikirannya adalah Saqib. Ia mengaku pesimis terhadap langkah pemerintah untuk memberlakukan new normal. Saqib meragukan new normal versi pemerintah yang berbeda dari istilah yang disampaikan WHO. Bahwasanya ada beberapa syarat sebuah negara yang boleh melakukan new normal menurut WHO, diantaranya bisa tes masif, pengawasan protokol yang ketat, persepsi risiko yang tinggi, kapasitas rumah sakit yang cukup, kontak tracing yang tepat, dan kurva yang sudah melandai.

Melihat kondisi perkembangan COVID-19 di Indonesia, pemerintah dinilai belum memenuhi beberapa syarat tersebut dan dianggap belum siap untuk memberlakukan new normal. Kebijakan PSBB saja belum berhasil diterapkan. Maka, harus ada dasar kebijakan yang jelas mengapa kita harus new normal. “Pertanyaan saya, sebenarnya new normal versi pemerintah itu dasarnya apa sih, dia mengikuti arahan mana, kalau WHO tadi jelas-jelas tidak sesuai,” ungkap Saqib mempertanyakan.

Partisipan kedua, yaitu Dita, juga pesimis terhadap langkah pemerintah. Dita menyetujui statement Saqib mengenai belum terpenuhinya indikator yang memperbolehkan suatu negara untuk memasuki new normal. Dita menilai kebijakan pemerintah sebelumnya sebagai penanganan wabah belum kelar atau tidak terlaksana dengan semestinya. Pemerintah belum melaksanakan tes masif, begitu pula sikap masyarakat yang tidak mengindahkan protokol. Sebagai orang yang berada di pihak pesimis, Dita merasa usahanya untuk self-quarantine percuma jika diberlakukan new normal.

“Pesimisnya tuh kayak yaelah percuma dong gue mendem di rumah tiga bulan kalau misalkan penanganannya masih kaya gini,” ujarnya. Tentunya wajar saja apabila kita merasa bosan atau stress berlama-lama di rumah. Untuk menjaga kewarasan selama tiga bulan karantina, Dita banyak mencoba hal baru di rumah, salah satunya bercocok tanam. Apalagi ia pernah bercita-cita mempunyai kebun sendiri namun belum kesampaian untuk berkebun karena tidak adanya lahan di indekos. “Biar gak mati gaya, biar masih waras, salah satunya itu (tujuannya), boleh dicoba, itu (berkebun) seru sekali,” ungkapnya.

Berdasarkan alasan-alasan dari partisipan sebelumnya, sebenarnya Irnas juga pesimis. Namun, disini Irnas melihat dari sisi lain, adanya new normal membuatnya senang karena setidaknya ia bisa keluar setelah tiga bulan total benar-benar di rumah. Pasalnya, anjuran #dirumahaja menyebabkan sleep cycle Irnas menjadi berantakan karena ia tidur di saat matahari ada dan bangun ketika matahari tidak ada. Pola tidur seperti itu diakibatkan karena saking tidak bisanya berbuat apa-apa seperti hari-hari normal. Berhubung Irnas juga berada di daerah zona merah. Jika dilihat dari kacamata makro, Indonesia memang belum siap, tetapi semua itu demi ekonomi.

Irnas berpesan untuk tetap mengikuti instruksi pemerintah terkait protokol kesehatan meskipun kita sudah boleh keluar rumah. “Aku pesennya sih ya jangan pesimis-pesimis banget lah, di dunia yang lagi gelap dan gak pasti kaya sekarang, mendingan mati bahagia daripada mati sedih,” pesannya. Pesan dengan kalimat yang sangat menohok tersebut ditanggapi oleh host bahwa menurutnya tetap harus hidup bahagia, kalau bisa sampai mati karena wabah.

Gege juga mengalami kegelisahan yang sama dengan kebanyakan orang, yaitu sudah mulai bosan di rumah. Untuk menyiasatinya, ketika pagi-pagi buta Gege melakukan jogging di lapangan dekat rumahnya. Namun, ia tetap meminimalisasi bertemu orang-orang dengan berlari lebih pagi, dan ketika orang-orang datang ia sudah pulang. Sebelum sampai rumah, Gege terlebih dahulu mengeringkan keringat agar dapat langsung mandi dan mencuci pakaian agar tidak meningkatkan risiko orang rumah untuk tertular. Dengan adanya wacana new normal ini, Gege pesimis jika pemerintah berharap new normal tersebut akan melandaikan kurva penyebaran COVID-19.

Di satu sisi, ia juga optimis karena harapannya roda perekonomian dapat berjalan lagi sekaligus orang-orang jadi bisa mewaraskan diri dengan keluar rumah. “Tapi balik lagi harus dengan kesadaran diri jaga jarak, pakai masker, bawa hansanitizer, atau cuci tangan karena sekarang pun semua tempat udah meningkatkan upayanya untuk meminimalisir persebaran ini jadi tergantung kitanya sekarang yang kesadaran dirinya dituntut untuk lebih tinggi untuk mengurangi risiko persebaran,” ungkapnya. Sesi siaran langsung Oposit diakhiri sekitar pukul 20.00 WIB. Siaran ulang dari sesi Oposit keempat dapat ditonton melalui halaman IGTV pada akun Instagram CfDS atau @cfds_ugm. (/Wfr)