Yogyakarta, 23 Oktober 2023─Mewujudkan lingkungan yang inklusif dan ramah terhadap penyandang disabilitas merupakan manifestasi amanat yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Namun, lebih dari itu, arti penting inklusivitas juga merujuk pada penghayatan nilai-nilai perbedaan dan kemanusiaan secara lebih luas. Hal tersebut disampaikan oleh Budi Irawanto, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, ketika diwawancara soal kampus inklusif pada Kamis (19/10).
Menurut Budi, perjalanan menuju kampus yang inklusif harus dimulai sejak tahap penerimaan mahasiswa. “Kampus harus memperbolehkan siapapun dengan kondisi apapun untuk menjadi calon mahasiswa. Semua punya akses dalam mendaftar,” ucap Budi. Tak hanya bagi mahasiswa, kampus juga perlu membuka kesempatan bagi dosen maupun tenaga pendidik penyandang disabilitas untuk memperluas partisipasi di dunia kerja. Selain itu, diperlukan adanya asistensi atau bantuan bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Bantuan ini tidak hanya mencakup pengadaan sarana prasarana, tetapi juga dukungan dalam proses pembelajaran.
Budi menyoroti fakta bahwa penggunaan materi visual dalam kegiatan mengajar seringkali lebih menguntungkan mahasiswa non-difabel. Sementara, hal tersebut bisa menjadi hambatan besar bagi mahasiswa difabel. “Belum lagi bagi mahasiswa tunarungu dan tunawicara, apa yang disampaikan oleh dosen mungkin akan sulit dipahami jika hanya dilakukan secara lisan,” tukas Budi. Dosen serta pihak kampus harus memahami perlunya pengembangan metode pembelajaran yang lebih inklusif. Budi merasa diperlukan adanya tutorial khusus untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa difabel agar dapat mengatasi persoalan tersebut.
Selain itu, Budi juga menekankan pentingnya integrasi isu-isu terkait disabilitas dalam kurikulum perguruan tinggi. “Isu disabilitas perlu diadopsi sebagai paradigma teoritik yang kemudian diterjemahkan dalam mata kuliah. Ini sangat penting dan akan jauh lebih longlasting karena akan menjadi bagian dari wacana akademis, implikasinya juga bisa sampai ke riset-riset,” tegas Budi. Sebagai contoh, dalam mata kuliah “Budaya Visual” yang diampu olehnya, terdapat satu sesi pertemuan yang secara khusus membahas mengenai bagaimana manusia memandang perbedaan, terutama dalam konteks disabilitas. Budi merasa bahwa peluang untuk mengintegrasikan isu disabilitas dalam berbagai mata kuliah di Fisipol sangatlah terbuka. “Misalnya, dalam mata kuliah Manajemen Kebijakan Publik, pembahasan tentang kebijakan yang inklusif dapat menjadi topik penting. Pada bidang Sosiologi, identitas dan stigma dapat dianalisis dari perspektif disabilitas. Bahkan, dalam Ilmu Komunikasi, kita juga bisa membahas soal representasi disabilitas dalam media,” jelasnya.
“Tentu saya berharap bahwa Fisipol akan menjadi eksemplar atau inisiator fakultas yang inklusif, setidaknya di tingkat UGM dulu,” kata Budi. Lebih lanjut, dirinya juga berharap bahwa isu mengenai disabilitas tidak hanya berhenti pada retorika dan wacana semata, tetapi dapat diimplementasikan menjadi kebijakan serta tindakan yang konkret. Dengan pendekatan yang tepat dan sesuai, kita dapat menciptakan perubahan nyata dalam perguruan tinggi, dimana semua mahasiswa dapat merasa diterima dan didukung sepenuhnya. Dengan demikian, Fisipol sebagai institusi pendidikan dapat membuka pintu akses yang lebih luas untuk kesetaraan di dunia akademis, seturut SDGs 4 (Pendidikan), SDGs 10 (Berkurangnya Kesenjangan), dan SDGs 11 (Kota yang Berkelanjutan). (/tt)