Pandemi Memperjelas Keterbatasan Infrastruktur Pendidikan di Indonesia

Yogyakarta, 6 Juli 2020—Pusat Kajian Departemen Manajemen Kebijakan Publik (Puska MKP), Fisipol UGM mengadakan webinar bertajuk “Bridging The Gaps: Desain Kebijakan vs Kesiapan Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah”. Webinar yang dilaksanakan pada Senin (6/7) ini menghadirkan tiga pembicara pada sesi pertama. Ketiganya adalah Agustinus Subarsono, Ph.D, Direktur Pusat Kajian Manajemen dan Kebijakan Publik, UGM; Prof. Dr. Ainun Naim, Sekertaris Jendral Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; dan Abetnego Tarigan, Deputi III Kantor Staf Presiden. Webinar kali ini dibuka oleh Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si. selaku dekan Fisipol UGM.

Agustinus memulai diskusi dengan membahas mengenai permasalahan di sektor pendidikan yang muncul selama pandemi. Permasalahan tersebut antara lain, tidak terlaksananya studi lapangan dan studi laboratorium selama pandemi. Selain itu, disparitas teknologi antar rumah tangga dan disparitas jaringan internet antar daerah turut menjadi masalah. Tidak hanya itu saja, literasi teknologi guru dan orang tua yang beragam turut mempengaruhi pemahaman peserta didik selama menjalani pendidikan dari rumah.

Agustinus juga memaparkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019 yang menunjukkan rata-rata guru yang pernah mengikuti pelatihan di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Dari hasil tersebut hanya sebanyak 2,6 persen guru swasta telah mendapat pendidikan TIK, sedangkan jumlah guru negeri yang memperoleh pendidikan TIK lebih kecil yaitu 1,6 persen. “Tidak semua guru siap melakukan pendidikan jarak jauh,” simpul Agustinus.

Agustinus turut memaparkan hasil survei Puska MKP pada akhir Juni hingga awal Juli tahun ini mengenai pendidikan jarak jauh (PJJ) di lingkup DI Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa kebanyakan siswa merasa pembelajaran jarak jauh lebih sulit diikuti, selain itu siswa juga merasa kesulitan mencerna materi saat PJJ dibanding pembelajaran konvenisonal. Mayoritas guru yang mengisi kuesioner juga merasa bahwa penyelenggaraan PJJ lebih sulit. “Guru mengalami kesulitan  dalam menyiapkan materi, merancang bentuk kegiatan, membimbing siswa, dan mengevaluasi kinerja akademik siswa,” ungkap Agustinus.

Dari hasil pemaparannya, Agus menyimpulkan perlunya upaya menjembatani kesenjangan desain kebijakan dan penyelenggaraan PJJ di level pendidikan dan perlunya adanya inovasi pembelajaran agar dapat mengurangi beban siswa. Selain itu, Agus juga menekankan perlunya memperkuat tanggung jawab bersama dan kolaborasi antara sekolah dan orang tua dalam pendidikan. Agus juga merekomendasikan bahwa perlu dipertimbangkan pendidikan daring dan luring sebagai alternatif menghadapi new normal. “Kegiatan tatap muka bisa dilakukan jika lingkungan sudah aman,” tutur Agus.

Abetno Tarigan mengakui bahwa pembelajaran selama pandemi dilakukan dengan infrastruktur terbatas. Maka dari, Abetno menyebutkan bahwa kegiatan belajar mengajar dilakukan secara fleksibel dan materi pembelajaran disesuaikan kondisi pandemi. Beberapa daerah yang melakukan inisiatif tersebut antara lain di Kabupaten Ende dan Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Di dua kabupaten ini, guru mendatangi rumah peserta didik dalam kurun waktu tertentu untuk membagikan buku bacaan dan Lembar Kerja Siswa (LKS). Di Kabuaten Tulang Bawang Barat, Lampung, seminggu sekali guru membentuk kelompok kecil untuk menonton film bersama dan memberikan pelajaran yang berhubungan dengan mata pelajaran. Tidak hanya di luar Jawa yang mengalami hal serupa, di Kabupaten Pandeglang, Banten misalnya, peserta didik diberi LKS melalui WhatsApp. “Di Pandeglang, LKS yang diberikan disesuaikan dengan materi pemahaman siswa terkait pandemi,” sebut Abetno.

Mengamini kedua pembicara sebelumnya, Ainun Naim menyebutkan bahwa pemerintah memiliki prioritas kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan di masa pandemi. “Prioritas pemerintah yaitu kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat dalam menetapkan kebijakan pembelajaran,” ungkap Ainun.

Ainun melanjutkan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memobilisasi sumber daya yang ada selama pandemi ini. Salah satunya pada aspek kesehatan, yaitu melalui perguruan tinggi yang memiliki rumah sakit untuk dikerahkan membantu penanganan COVID-19. Dalam aspek pendidikan, salah satu yang telah dicanangkan adalah meniadakan Ujian Nasional, yang kemudian diganti dengan penilaian. Selain itu, Kemendikbud menghimbau penggunaan Bantuan Operasional Sekolah digunakan secara fleksibel untuk kebutuhan sekolah. Ainun juga mengklaim bahwa Kemendikbud turut memberikan bantuan uang kuliah bagi mahasiswa yang tidak mampu membayar uang kuliah. “Uang bantuan itu akan diberikan kepada perguruan tinggi untuk mahasiswa yang tidak mampu membayar uang kuliah,” jelas Ainun. (/anf)