Peluncuran Prodi S3 Ilmu Komunikasi, Merumuskan Komunikasi Publik di Masa Pandemi dari Tiga Bidang Ilmu

Yogyakarta, 21 Juni 2020‒Tiga pembicara, yang masing-masing berasal dari bidang ilmu kesehatan, pemerintahan, dan komunikasi, merumuskan komunikasi publik terkait Covid-19 di acara bertajuk Publik dalam Pusaran Epidemi Covid-19, Refleksi Komunikasi Publik dalam Kelindan Politik. Acara yang merupakan peluncuran program doktoral Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol), UGM tersebut menghadirkan Guru Besar Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Prof. Sutaryo, Wakil Walikota Yogyakarta Heroe Poerwadi, dan Ketua Dikom Fisipol UGM Muhamad Sulhan. Dosen senior Dikom Fisipol UGM Prof. Hermin Indah Wahyuni menjadi moderator dalam webinar tersebut. Acara dibuka pada pukul 09.00 WIB dan mempersilakan Dekan Fisipol UGM Prof. Erwan Agus Purwanto untuk mengawali acara dengan sambutannya.

Prof. Sutaryo, sebagai pembicara pertama, mengingatkan seluruh intelektual UGM agar turut serta memberi pencerahan kepada publik, terutama warga Yogyakarta, dalam penanggulangan pandemi. Ia juga menyebut bahwa dasar komunikasi publik pada masa pandemi adalah ilmu kesehatan, ilmu bencana, dan ilmu komunikasi publik. “Tanpa komunikasi publik yang baik, pemerintah tidak akan berhasil menekan pergerakan virus ini,” tutur Prof. Sutaryo.

“Kebijakan pemerintah semakin lama semakin membingungkan,” kata Prof. Sutaryo. Ia juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang menggencarkan rapid test secara besar-besaran. Menurut pandangannya, rapid test bukanlah solusi dalam penanganan Covid-19. Sebab, rapid test hanya mengukur tingkat antibodi atau sel imun dalam tubuh, bukan mendeteksi virus. Menurutnya, pemerintah mestinya mengacu pada buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 buatan Kementerian Kesehatan.

Pakar kesehatan yang menulis buku Severe Acute Respiratory Syndrome-Coronavirus (SARS Cov) tahun 2004 itu juga mengatakan bahwa banyak masyarakat masih menyepelekan protokol pencegahan penularan virus corona. Padahal, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin Covid-19. “Semua penyakit yang nampak itu mirip fenomena gunung es,” jelas Prof. Sutaryo. Menurutnya, jumlah orang tanpa gejala (OTG) terkait Covid-19 sangat besar dibandingkan dengan jumlah kasus yang terdeteksi. Oleh karenanya, masyarakat perlu tertib dalam menerapkan protokol pencegahan penularan virus, seperti selalu memakai masker, saling menjaga jarak satu sampai dua meter, serta menerapkan pola hidup bersih dan sehat.

Kritik Prof. Sutaryo mengenai kebijakan rapid test ditanggapi oleh Wakil Walikota Yogyakarta. Heroe menyatakan bahwa pemerintah tergagap di masa awal menghadapi Covid-19. Alumni Dikom itu menyebut bahwa pemerintah daerah menunggu pedoman dari pemerintah pusat dalam penanganan Covid-19. “Kebijakan-kebijakan yang menyangkut rapid tes diambil karena menunggu hasil tes swab yang lama,” kata Heroe.

“Kami (pemkot Yogyakarta) menyusun lima prinsip dasar penanganan Covid-19,” jelas Heroe. Pertama, melakukan penanggulangan kasus. Kedua, mempersiapkan jaring pengaman sosial. Ketiga, pemulihan. Keempat, kebangkitan. Kelima, memilih program-program strategis dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang mengacu pada (APBD).

Pemkot Yogyakarta juga menjalankan instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk melibatkan partisipasi masyarakat. Menurut Heroe, partisipasi masyarakat di masa pandemi ini sangat penting. “Pemerintah mendorong masyarakat untuk menyediakan tempat cuci tangan, melakukan penyemprotan disinfektan mandiri, serta memonitoring pendatang,” kata Heroe.

Sependapat dengan Heroe, Sulhan mengatakan bahwa potensi pemaksimalan kecerdasan publik diperlukan untuk membangun komunikasi publik yang baik. Sebab, proses partisipasi publik dalam bermedia di Indonesia menciptakan banyak misleading atau kesalahpahaman. Ketua Asosiasi Prodi Ilmu Komunikasi Indonesia itu juga menerangkan tentang dua kompleksitas komunikasi publik mengenai Covid-19. Pertama, mudahnya wacana kesehatan yang bergeser menjadi isu politis. Kedua, kontrol informasi yang seharusnya dipusatkan pada isu kesehatan justru berseberangan dengan proses partisipasi. “Sebagai contoh, media sosial memiliki kekuatan luar biasa untuk membelokkan opini, membentuk opini yang menyesatkan, hoaks, dan sebagainya,” tutur Sulhan.

Menurut pengamatan Sulhan, proses pemberitaan media nasional tentang Covid-19 tidak lagi semata-mata tentang virus, melainkan juga mengenai sosok pengambil kebijakan. Mereka dihadirkan dalam dua sisi, yakni sosok personal dan kebijakan pemerintahannya. Namun, media lebih banyak menampilkan mereka sebagai sosok personal dibanding sosok pemerintahan. Oleh karena itu, upaya akademisi komunikasi dalam mencerdaskan publik yakni dengan komunikasi publik yang bermartabat. Hadirnya program doktoral di Dikom, Fisipol, UGM melengkapi upaya universitas dalam memegang tiga kata kunci, yakni kritis, kreatif, dan etis. “Harapannya, program doktoral ini dapat menciptakan sinergi untuk mengarahkan lulusannya ke komunikasi yang bermartabat dan mewujudkan well informed society,” tutup Sulhan. (/NIF)