Ramai berseliweran di berbagai media, siapa yang tidak pernah mendengar istilah Meikarta? Dengan iklan TV bombastis yang menggadangkan hunian nyaman, Meikarta tentu terasa amat meyakinkan bagi banyak orang. Kota impian ini akan dibangun oleh Lippo Group sebagai pengembang. Berdasar dari data Tirto.id, Meikarta dinilai sebagai proyek paling masif dari Lippo Group, Meikarta akan dibangun di atas tanah seluas 500 hektar dengan nilai investasi proyek mencapai 278 triliun rupiah. Pembangunan besar-besaran ini juga tidak hanya terjadi di Cikarang, tempat Meikarta rencananya berdiri, namun juga di Yogyakarta, yang pada tahun-tahun terakhir gencar menjadi sasaran pembangunan apartemen dan hotel. Magister Administrasi Publik (MAP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui seri diskusinya, MAP Corner, berusaha membongkar persoalan ini melalui diskusi dengan tajuk “Meikarta: Bisnis Properti dan Keadilan atas Kota” yang berlangsung di Lobi MAP Fisipol UGM Unit 2, Sekip (17/10).
Gregorius Sri Wuryanto sebagai pemantik membuka diskusi dengan memutarkan iklan televisi Meikarta dan sebuah video analisis iklan tersebut. Melalui iklan tersebut, secara jelas Jakarta dan Meikarta digambarkan sebagai sesuatu yang kontras. Narasi yang dibangun tentang Jakarta begitu menakutkan, dimana banyak polusi, kekumuhan, serta kemacetan dimana-mana dengan tone warna gelap. Padahal, pengembang properti juga memiliki andil atas terciptanya hal-hal tersebut, yang sedikit banyak juga menyingkirkan masyarakat miskin. Sebaliknya, Meikarta dideskripsikan sebagai sebuah kota yang maju dengan langit yang cerah. Dimana kawasan ini akan memiliki teknologi tinggi dan juga taman yang direncanakan mirip dengan Central Park di New York. Tidak hanya melalui televisi, Meikarta juga gencar mempromosikan iklannya pada media lain yang tidak kalah masif.
Oleh Gregorius, cara pemasaran mereka ini dilakukan untuk meningkatkan daya ungkit modal yang sebelumnya telah mereka tanam. “Nilai investasi Meikarta yang mencapai nilai 278 triliun rupiah itu setara dengan APBD Jakarta selama empat tahun,” ungkapnya. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa Meikarta mengucurkan biaya untuk pemasaran dan iklan sebesar 700 milyar rupiah. Dimana, dalam tataran ini, ia merasa bahwa pemasaran Meikarta telah bermain dalam wilayah propaganda dan bukan sekedar pemasaran dalam menciptakan sebuah kota. “Kita saat ini sedang menghadapi propaganda kapital,” ucap dosen dari Universitas Kristen Duta Wacana ini. Ia juga menjelaskan bahwa persepsi merupakan bentuk kuasa dari manusia, yang kemudian menentukan kontrol terhadap bagimana seseorang bertindak terhadap sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya. “Persepsi yang sedang dibangun oleh Meikarta adalah komparasi hidup antara konteks kehidupan Jakarta yang disempitkan dan dengan Meikarta. Dan ini adalah sebuah komparasi yang tidak fair,” ungkapnya.
Sedangkan Dodok Putra Bangsa lebih menekankan pada pembangunan yang berkeadilan lingkungan. Menjadi aktivis dari gerakan “Jogja Ora Didol” –Jogja tidak dijual (red)—ia sangat paham mengenai pembangunan yang marak terjadi di Yogyakarta. Menurutnya, perizinan pembangunan di Yogyakarta sudah diotak-atik dan dikemas seapik mungkin agar para pengembang dan investor dapat lebih mudah mendirikan usahanya. “Jadi ancaman itu sifatnya administratif saja,” kata Dodok. Selain permasalahan perizinan, hal yang dihadapi lainnya adalah pembangunan yang tidak utuh. “Dalam hal ini pembangunan yang tidak utuh artinya tidak ada perencanaan konkret yang berorientasi pada masa depan,” ungkapnya. Ia juga menekankan pentingnya pembangunan yang berkeadilan lingkungan, dimana menurutnya masih banyak pembangunan apartemen, hotel, dan bahkan bandara yang izin pembangunannya tidak berlandaskan keadilan lingkungan di Yogyakarta. Dodok juga menekankan bahwa prinsip kemanusiaan harus ada dalam pembangunan, “Hal ini harus dijadikan sebagai hal yang utama dan tumpuan dalam melakukan pembangunan,” pungkasnya. (/fkm)