Peneliti dan Ahli Komunikasi Bahas Komunikasi Krisis Pandemi Covid-19 di Indonesia

Yogyakarta, 17 Juli 2020‒Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menyelenggarakan acara diskusi Ngopi. Seri kelima Ngopi yang bertajuk “Opini Masyarakat dan Komunikasi Krisis dalam Pandemi Corona” ini menghadirkan tiga pembicara. Pertama, peneliti Indonesia Indicator, Nur Imroatus S. Kedua, penasihat atau advisor International Media Support, Denmark, R. Kristiawan. Ketiga, dosen Dikom Fisipol UGM, Wisnu Martha Adiputra. Sedangkan moderator dalam acara ini ialah dosen Dikom Fisipol UGM, Wisnu Prasetya Utomo.

Nur mengawali diskusi dengan menunjukkan hasil pantauan Indonesia Indicator terhadap pemberitaan di media-media daring Indonesia selama kurun waktu 23 Maret hingga 2 Juli 2020. Ia menemukan setidaknya 70 langkah pemerintah pusat yang diberitakan media daring di Indonesia. Hasil ini, menurut Nur, menunjukkan keaktifan pemerintah dalam menyampaikan langkah-langkahnya kepada media. Namun, pemberian informasi tentang Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dari pemerintah masih tampak tidak terencana. “Komunikasi publik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sering tidak sinkron,” kata perempuan yang akrab dipanggil Iim ini.

Menurut Nur, media pemberitaan daring juga menyajikan hal-hal kontroversial atau isu negatif, misalnya polemik tes cepat, new normal, dan sebagainya. Setidaknya ada lima sektor yang menyangkut isu new normal dalam pemberitaan, yakni sektor kesehatan, pendidikan, sosial, kebijakan, dan ekonomi. Namun, Nur mengatakan ada tiga isu penting bagi masyarakat, yakni isu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. “Sayangnya, pemilik kebijakan di Indonesia tidak benar-benar mengelola isu ini dengan baik,” kata Nur.

Senada dengan Nur, Kristiawan juga mengkritik komunikasi krisis pemerintah pusat yang buruk. Menurutnya, narasi-narasi yang disampaikan, gestur, dan mimik wajah pemerintah pusat, khususnya menteri kesehatan, di awal pandemi tampak tidak serius atau menyepelekan. Kristiawan juga mengatakan bahwa strategi komunikasi pemerintah tidak bagus. Bukan hanya komunikasi krisis, namun juga dalam kasus umum. Tidak ada strategi komunikasi pemerintah yang komprehensif. Padahal, pemerintah Indonesia memiliki sejarah bagus tentang komunikasi perubahan perilaku, yakni mengenai keluarga berencana (KB). “Setelah komunikasi perubahan perilaku tentang KB, saya lihat strategi komunikasi pemerintah Indonesia secara umum tidak berkembang,” tutur Kristiawan.

Menurut Kristiawan, arsitektur strategi komunikasi pemerintah masih lemah. Di sisi lain, masyarakat Indonesia sangat mengikuti anjuran pemerintah. Sayangnya, pemerintah tidak memanfaatkan modalitas risiko kultural masyarakat ini ke dalam strategi komunikasi krisis. Selain itu, setidaknya ada dua gegar atau guncangan bagi masyarakat Indonesia menurut Kristiawan. Pertama, gegar digitalisasi, yakni permasalahan media digital berupa model bisnis yang belum tepat. Kedua, gegar Covid-19, yang memperparah kondisi media digital di Indonesia. Sebelum adanya Covid-19, menurut Kristiawan, hubungan antara wartawan dengan industrial media sudah bermasalah. “Munculnya Covid-19 dan pengalaman pers independen yang belum lama di Indonesia menimbulkan banyak permasalahan,” tutur laki-laki yang akrab disapa Wawan ini.

Sependapat dengan Kristiawan, Wisnu mengatakan bahwa komunikasi krisis pemerintah membuat warga kebingungan. Menurut Wisnu, pemerintah menggunakan ragam istilah asing yang terlalu rumit bagi masyarakat awam. Selain itu, koordinasi antarbidang (kesehatan, pendidikan, dan transportasi) serta antarlevel (pemerintah pusat dan daerah) belum terbangun dengan baik. Di samping itu, penanganan pemerintah juga menunjukkan bias kelas sosial. “Pemerintah menggunakan media baru secara intensif dan ekstensif, padahal tidak semua wilayah Indonesia terjangkau internet dan literasi digital warga belum memadai,” kata Wisnu.

Wisnu juga mengatakan, literasi digital masyarakat Indonesia yang belum memadai menyebabkan banyak masyarakat terpapar hoaks. Selain itu, menurut Wisnu, setidaknya ada lima permasalahan pada ruang publik di Indonesia. Pertama, trivialisasi, yakni perubahan bentuk isu penting menjadi hal yang sepele. Kedua, komersialisasi isu, yang menyebabkan pemberitaan tentang Covid-19 hanya dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi media. Ketiga, publik sebagai spectacle atau hanya menjadi pengamat dan tidak bertindak. Ketiga, fragmentasi publik yang muncul sejak pemilihan presiden masih berlangsung hingga saat ini. Kelima, apatisme publik atau ketidakpedulian masyarakat terhadap pandemi Covid-19. “Kalau warga sudah apatis atau tidak lagi peduli dengan anjuran pemerintah, maka penanganan pandemi Covid-19 akan semakin sulit,” tutur Wisnu.

Selanjutnya, diskusi ditutup dengan sesi tanya jawab. Salah seorang peserta diskusi, Bambang Irawan yang merupakan mahasiswa pascasarjana di Universitas Riau, menanyakan tentang model komunikasi yang tepat bagi pemerintah agar dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat. Menurut Kristiawan, pemerintah perlu mencari juru bicara yang kompeten, dapat menguasai masalah, dan memiliki artikulasi yang jelas. “Kepercayaan publik bisa ditingkatkan dengan mencari gaya komunikasi yang responsif, memenuhi kebutuhan publik, dan menguasai teknis melalui referensi kasus epidemi sebelumnya,” pungkas Kristiawan. (/NIF)