Pentingnya Perkuat Literasi Film Dalam Menjajaki Dunia Sinematografi

Yogyakarta, 17 Juli 2020—Pusat Kajian Kepemudaan Fisipol UGM atau yang kerap disebut sebagai YouSure, kembali memfasilitasi penyelenggaraan diskusi daring dengan menggandeng dua speaker yakni Dosen Ilmu Komunikasi UGM, Gilang Desti Parahita, MA. dan founder Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, Bowo Leksono.  Tajuk diskusi yang membawakan tema Film dan Pendidikan: Siswa SMA Bisa Bikin Film! ini diperuntukkan bagi pelajar SMA/MA IPS Kelas 11 dan 12 se-DIY. Menariknya, jalannya diskusi yang terkesan layaknya seperti sesi private class ini diikuti dengan antusias dari hadirnya pelajar-pelajar yang berpartisipasi untuk mau mengenali basis dasar pentingnya memahami literasi film dan sesi sharing dari Bowo Leksono terkait bagaimana proses produksi film yang dilakukan oleh teman-teman yang tergabung dalam ekstrakulikuler sinematografi yang notabenenya berisikan para pelajar.

Mengawali jalannya diskusi, Gilang Desti Parahita menyampaikan starting point yang komprehensif dalam menjelaskan tentang pentingnya memiliki literasi film. Bagi Gilang, literasi film dapat dimaknai sebagai suatu upaya untuk memahami apa yang ada di dalam sebuah film sehingga hal tersebut dapat kita gunakan sebagai aspek untuk menghubungkan konteks yang dibawa film dengan sekitar kita, mulai dari produk budaya populer yang dipertontonkan, simbol budaya yang menonjol dalam film, dan tak lupa literasi film juga digunakan untuk memahami bagaimana struktur ekonomi dan politik coba digambarkan oleh sang produser. Dengan memiliki pemahaman yang cukup tentang literasi film, Gilang juga menambahkan bahwasanya secara tidak langsung kita akan menjadi bagian dari pentonton yang aktif. Yang tidak hanya sekedar menikmati pemutaran film, tetapi juga dapat mempertanyakan, mendiskusikan, serta menganalisis seluk-beluk sebuah film.

Dalam memberikan penjelasan terkait pentingnya memiliki literasi film, Gilang juga menyebutkan setidaknya terdapat empat elemen film yang kiranya perlu diketahui. Pertama, terdapat struktur dramatik dan sinematik sebagai upaya dari produser untuk menghidupkan film guna terkesan menjadi lebih nyata. Kedua, relasi film audiens yang menggambarkan bagaimana efek dramatik dan teatrikal film dapat berpengaruh terhadap audiens. Ketiga, yakni konteks dan konsekuensi yang diposisikan untuk menjelaskan mengapa sebuah film itu diproduksi, didistribusikan, ditayangkan, serta bagaimana dampaknya terhadap masyarakat luas. Kreasi menjadi elemen literasi film terakhir yang berisikan tentang bagaimana proses penyaluran daya kreatif ke dalam produksi sebuah film.

Sementara itu, Bowo Leksono lebih menjelaskan bagaimana pelaksanaan proses produksi film yang dilakukan oleh pelajar atau anak muda. Selaku founder CLC Purbalingga, Bowo yang akrab dengan dunia perfilman ini memaparkan bahwasanya anak muda yang tergabung dalam ekstrakulikuler sinematografi memiliki keunikan yakni berupa ciri khusus yang sering mengangkat kisah-kisah romansa dalam proses produksi film. Dalam hal ini, Bowo menggarisbawahi bahwasanya keunikan tersebut dapat diatasi dengan memberikan saran kepada anak muda untuk terus memperbanyak tontonan film agar referensi film yang diserap beragam jenisnya. Tak lupa, Bowo juga menegaskan bahwasanya kebiasaan membaca juga merupakan kunci utama dalam memproduksi sebuah karya visual yang berkualitas dan bermutu. Logikanya, semakin banyak membaca, maka wawasan dan insight terkait mengemas konten dalam film akan semakin luas dan kreatif.

Bowo juga memberikan contoh bahwasanya dalam proses produksi film baik itu dokumenter ataupun fiksi, akan ada banyak referensi tema yang dapat diperoleh dengan melihat persoalan-persoalan yang dekat dengan kehidupan manusia. Dengan tujuan, tema-tema tidak terkukung dalam liminalitas yang sifatnya cenderung monoton seperti pada umumnya. Namun, persoalan politik, sejarah, ataupun budaya juga tidak dapat dilepaskan dari arah tema dua film tersebut. Tinggal bagaimana kita sebagai bagian dari aktor yang memproduksi film dapat mengelola dan memvisualisasikan persoalan-persoalan yang dibawa dengan baik dan tidak membosankan kepada audiens. Kegiatan pemuda-pemudi yang tergabung dalam aktivitas produksi film, dinilai Bowo sebagai salah satu wujud dari penanaman dan pembentukan karakter yang berguna di masa mendatang. Dari belajar memproduksi sebuah film, anak-anak muda dapat mengeksplor kemampuannya dalam hal berdiskusi, saling bertukar ide, memotret persoalan-persoalan yang ada, hingga dapat meningkatkan kreativitas.

Mengakhiri sesi diskusi ini, kedua narasumber menyampaikan pesannya bahwa proses produksi film bukan merupakan proses yang mudah. Untuk dapat menghasilkan sebuah karya visual yang berkualitas, kiranya diperlukan modal-modal utama yang sebagaimana telah disampaikan Bowo Leksmono diawal, yakni memperkaya referensi tontonan film dan banyak membaca buku. Tak lupa, Gilang juga menambahkan bahwa semakin terbiasa kita mengkritik dan banyak menonton film yang berkualitas, maka daya ketertarikan kita terhadap film juga akan semakin terasah. Gilang juga menyarankan untuk mengenali sutradara-sutradara yang berperan di balik layar. Dengan tujuan agar kita semakin memahami pola dari masing-masing film yang dibawa. (/Adn).