
Yogyakarta, 2 Juni 2025—Indonesia sebagai negara demokrasi memiliki sistem desentralisasi untuk memberikan kewenangan signifikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kajian ini dibahas oleh Departemen Manajemen Kebijakan Publik (DMKP) dan GEO Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada dalam seminar “Public Policy and Administration in Turkey and Indonesia: A Comparative Perspective”. Diselenggarakan pada Jumat (23/50, diskusi ini mengundang sejumlah pakar kebijakan publik dan politik dari Gaziantep University, Turki.
Dr. Pradhikna Yunik Nurhayati, Dosen DMKP UGM menyebut, sistem desentralisasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2024 awalnya mengatur agar kinerja pemerintah semakin efektif. Terlebih dengan kondisi geografis Indonesia yang terlampau luas dan terdiri dari berbagai pulau, pemerintah pusat tidak bisa menjangkau seluruh daerah. Maka untuk memeratakan pembangunan dan meningkatkan kualitas layanan publik, dicetuskanlah sistem desentralisasi dari pemerintah pusat ke daerah.
“Desentralisasi ini bagus utamanya untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat daerah, mengoptimalkan potensi daerah seperti warisan budaya lokal dan adat,” ujar Pradhikna. Ia melanjutkan, prinsip perencanaan desentralisasi pada dasarnya merupakan integrasi dari sistem pembangunan nasional. Pemerintah bertugas melaksanakan kewenangan bersama pemangku kepentingan di tingkat daerah, sesuai dengan kondisi dan potensi, serta memerhatikan dinamika pembangunan daerah.
Namun beberapa tantangan muncul seiring berjalannya waktu, seperti ketimpangan antar daerah dan ketergantungan fiskal pada pusat. Kebijakan pemerintah pusat seringkali membebani finansial daerah dengan tidak seimbang. Pendapatan daerah setidaknya terdiri dari dua sumber pendapatan utama, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 10-20% dan dana perimbangan pemerintah pusat yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan persentase yang beragam.
“Meskipun daerah sudah diberi kewenangan fiskal, namun kebijakan di tingkat daerah masih sangat bergantung pada dana pemerintah pusat. Bisa jadi karena kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan berbeda-beda,” ucap Pradhikna.
Selain Indonesia, Turki juga menerapkan sistem desentralisasi yang sedikit berbeda. Pada sistem demokrasi Turki, pemerintah menetapkan sistem desentralisasi unitaris dengan kontrol pusat yang dominan. Artinya pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan dari kebijakan pusat. Dibanding Indonesia, pemerintah daerah Turki memiliki wewenang yang terbatas dan diawasi ketat oleh pemerintah pusat. Hal ini disampaikan oleh Dr. Mehmet Cevat Yildirim, pakar kebijakan publik Gaziantep University.
Sistem desentralisasi terpusat Turki membuat ketimpangan antar daerah cenderung kecil, karena kemampuan dan kapasitas daerah didukung sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Bahkan pada sistem pergantian pejabat daerah, pemerintah pusat bisa menunjuk atau melengserkan langsung pemerintah daerah tanpa melalui sistem pemilihan umum. “Secara prosedural, sistem desentralisasi Turki memang terlihat efisien dan efektif, namun berpotensi menimbulkan lemahnya penegakan demokrasi secara substansial,” tutur Mehmet.
Sistem demokrasi pada dasarnya menekankan pada keterwakilan partisipasi setiap individu dalam sebuah negara. Maka secara prosedur maupun substansial, keduanya harus menjadi sarana implementasi demokrasi yang baik. Kendati demikian, setiap sistem tetap memiliki kelebihan, kekurangan, serta tantangannya masing-masing. Oleh karena itu, penting bagi setiap negara untuk bersifat adaptif terhadap setiap perubahan. Diskusi DMKP dan GEO Fisipol UGM turut mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) ke-10 yaitu berkurangnya ketimpangan. (/tsy)