Refleksi Humanitas Atas Permasalahan di Papua

Yogyakarta, 28 Juni 2020—Himpunan mahasiswa Departemen Manajemen Kebijakan Publik atau Gamapi FISIPOL UGM menggelar diskusi Live Instagram yang bertajuk “Papua Hari Ini: Sebuah Refleksi Atas Dasar Humanitas” pada Minggu (28/6). Maksud dari adanya diskusi ini adalah untuk menyuarakan perasaan serta refleksi atas problematika terkait diskriminasi, rasisme, maupun kebijakan-kebijakan pemerintah yang seringkali terlihat tidak adil bagi rakyat Papua. Diskusi ini turut mengundang narasumber dari Merauke, yaitu Kak Epen Mahuze, seorang mahasiswa Pasca Sarjana jurusan Filsafat Keilahian Universitas Sanata Dharma. Melalui akun @gamapict, acara dimulai pukul 19.00 WIB oleh host, Ignatius Ardhana.

Sebagai pengantar, host memutarkan lagu Aku Papua dari Franky sebelum masuk acara bincang-bincang. Pada awal sesi diskusi, Kak Epen menunjukkan bagaimana kearifan lokal melihat tanah Papua sebagai ibu. Ia menjelaskan terkait alasan mengapa sering terjadi penolakan ketika tanah digusur, yang tadinya tanah adat menjadi tanah negara ketika investor datang. Hal tersebut terjadi karena orang Papua sudah terbiasa memiliki pandangan bahwa tanah adalah ibu yang sifatnya mengandung dan memelihara kehidupan, seperti personifikasi Ibu Pertiwi sebagai simbol bumi Indonesia. Menurut Kak Epen, pemerintah tidak memiliki pendekatan secara antropologis ketika investor datang sebagaimana orang Papua memandang tanah sebagai ibu. Bahwasanya orang Papua mengenal sang Pencipta lewat totem yang menggunakan simbol-simbol alam, yaitu ia lahir dari alam, tumbuh bersama alam, dan mati kembali ke alam. “Nah, ketika kenyamanan ia diganggu, karena hidup bersama alam ia nyaman, seperti seorang anak yang ditimang ibu tiba-tiba kita datang menggangu dia, otomatis ia berontak karena sudah nyaman dalam timangan,” ungkapnya.

Kak Epen menilai bahwa pemerintah selalu gagal menyelesaikan persoalan-persoalan terkait konsensus kebijakan maupun pembangunan di Papua. Menurutnya, Jokowi maupun Prabowo sama-sama tidak dapat dipercaya saat pemilu lalu. Namun, ketika akhirnya Jokowi menang di Papua pada periode kedua, itu karena rakyat Papua memilih calon presiden yang jauh dari aroma militer. Selain itu, pada periode pertama Jokowi melakukan pendekatan secara personal dengan orang Papua secara terus menerus sekaligus presiden pertama yang menginjakkan kaki di Asmat sejak Indonesia merdeka.  Meskipun begitu, Presiden Jokowi dianggap tidak mampu menyentuh zona yang sebenarnya, seperti persoalan air bersih di Papua, kondisi jalanan, dan perekonomian.

Menanggapi permasalahan rasisme di Surabaya lalu, Kak Epen beranggapan bahwa persoalan rasis di Indonesia keluar dari mulut orang-orang yang tidak punya pengetahuan atau relasi dengan orang-orang Papua. Mereka datang dari kelompok yang memaksakan diri dengan cara pandangnya sendiri yang tidak pernah kenal Papua, lalu merasa paling Indonesa, sehingga melihat Papua sebagai sesuatu yang belum maju. “Orang-orang yang tidak pernah bergaul dengan Papua, tidak punya pengetahuan, tidak baca berita dengan baik tentang Papua, sehingga kata-kata rasis keluar dengan enteng saja,” ungkapnya.

Menurutnya, pemerintah juga memanfaatkan hal tersebut untuk mengatakan bahwa rakyat Papua belum bisa diatur dan harus diatur dengan pendekatan militer. Ia menganggap bahwa pemerintah belum bisa berdialog secara mendalam. Pemerintah juga dianggap bersalah ketika mengambil kebijakan terkait pemblokiran internet oleh Kominfo agar permasalahan tidak meluas. Pemerintah dinilai kehabisan akal untuk menyelesaikan Papua secara lebih humanis. “Jadi seperti dua anak berkelahi, kemudian orang tuanya gak mampu ngurusin akhirnya ditutuplah pintu dikunci kamar agar tidak kedengaran orang.” “Cara pemerintah menyelesaikan persoalan rasis kemarin itu dengan pemblokiran internet supaya tidak meluas, emang dunia ini buta atau gimana,” tambahnya.

Setelah sesi tanya-jawab berakhir, diskusi ditutup sekitar pukul 20.00 WIB. Siaran ulang dapat ditonton melalui halaman IGTV akun @gamapict. (/Wfr)