Refleksi Pasca Pemilu 2024, Pakar UGM Sebut Klientelisme Jadi Variabel Penting

Yogyakarta, 23 Februari 2024–Terselenggaranya pemilihan umum (pemilu) dua pekan yang lalu bukan berarti masyarakat boleh lengah. Saat-saat pasca pemilu menjadi momentum yang tepat untuk merefleksikan dan mengevaluasi kembali jalannya Pemilu 2024. Sebagai wadah untuk bersama-sama merefleksikan proses pemilu, Election Corner kembali menggelar acara Diskusi Bersama Media yang ke-empat dengan tajuk “Sepekan Setelah Coblosan: Quo Vadis Demokrasi Indonesia?” pada Jum’at (23/2) di Ruang Amphitheatre BRI Work Fisipol UGM.

Menurut Arya Budi, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM, terdapat suatu fenomena yang menjadi anomali dalam Pemilu 2024. Berdasarkan hasil sementara hitung cepat yang telah dilakukan berbagai lembaga survei, pasangan calon Prabowo-Gibran memimpin dengan jumlah suara lebih dari 50%. Sedangkan, partai yang mengusung Prabowo-Gibran justru tidak memimpin dalam hasil hitung cepat. “Secara empiris, hal ini tidak pernah terjadi. Secara teoretis, ini juga merupakan anomali karena pada umumnya, kalau calon presidennya tinggi maka partai pengusungnya akan ikut terangkat,” jelas Arya. 

Arya menduga terdapat dua hal yang dapat menjelaskan fenomena tidak linearnya suara calon presiden dengan partainya. “Adanya vote buying dan perilaku klientelistik yang lumayan masif akan mendeviasi afeksi pemilih. Kemudian, berkaitan dengan sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih calon legislatif (caleg) mendominasi proporsi pemilih partai sebanyak 75% pada 2019. Kontribusi suara partai itu berasal dari pemilih caleg. Ini yang bisa jadi mendeviasi anomali tadi,” tukas Arya.

Lebih lanjut, Arya juga menjelaskan bagaimana pembagian bantuan sosial (bansos) oleh Presiden Jokowi pada masa kampanye Pemilu 2024 menunjukkan tingginya efektivitas klientelisme di Indonesia. Pasalnya, menurut Arya, lebih dari separuh pemilih pada Pemilu 2024 rentan terhadap mekanisme-mekanisme klientelistik. Kelompok ini meliputi pemilih dengan pendapatan tidak lebih dari 2 juta rupiah per bulannya. “Hal ini menjelaskan mengapa bansos menjadi variabel penting karena hal ini menentukan apakah besok atau minggu depan mereka bisa makan atau tidak,” ungkap Arya. 

Sejalan dengan Arya, Devy Dhian Cahyati, Dosen DPP UGM, setuju bahwa program bansos menjadi faktor dominan masyarakat memilih paslon Prabowo-Gibran. “Masyarakat lebih suka memilih calon yang menawarkan solusi yang akan langsung dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Bagi masyarakat menengah ke bawah, hal ini sangat kontributif bagi keseharian mereka dan membuka akses terhadap gizi.” ujar Devy. (/tt)