
Yogyakarta, 21 Agustus 2025─Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM menyelenggarakan International Resiliency and Integrity Symposium (IRIS) 2025 pada Kamis (21/8) di Auditorium Mandiri Fisipol UGM. Bekerja sama dengan Safer Internet LAB (SAIL), sebuah inisiatif dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Google Indonesia, forum ini bertujuan untuk membahas dan merespons semakin maraknya penggunaan Generative Artificial Intelligence (GenAI), terutama di kawasan Asia Pasifik. “Generative AI and Information Resilience in the Asia-Pacific: Actions and Adaptations”.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan teknologi GenAI telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari banyak orang. Meskipun GenAI membawa manfaat, ia tak sepenuhnya lepas dari tantangan dan ancaman. Dalam sambutan sesi pleno, Wening Udasmoro, Wakil Rektor UGM, mengatakan bahwa Indonesia menghadapi tantangan seperti kesenjangan regulasi, literasi digital yang terbatas, dan misinformasi.
“Jangan sampai penggunaan GenAI merusak kepercayaan dan demokrasi. Kita justru harus bisa memperkuat kohesi antara keduanya,” tukas Wening.
Lebih lanjut, Yose Rizal Damuri, Direktur Eksekutif CSIS, mengatakan bahwa kita harus mampu menyeimbangkan keduanya. Menurut Yose, hal tersebut dapat dilakukan melalui mengelola risiko dan pada saat yang bersamaan juga memanfaatkan keuntungan yang ada.
Hal ini juga sejalan dengan keynote speech yang disampaikan Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Urusan Digital (Komdigi) Indonesia, secara daring. Meutya menyampaikan bahwa yang utama bagi pemerintah adalah memastikan manfaat dari inovasi teknologi dapat dirasakan semua rakyat sekaligus melindungi mereka dari ancaman dan risiko. Di Indonesia, terdapat berbagai risiko baik pada level mikro maupun makro.
Pada level mikro, risiko yang ada meliputi bias, algoritma, serta diskriminasi terhadap kelompok rentan dan minoritas. Sedangkan, risiko pada level makro berupa semakin meluasnya kesenjangan digital, bukan hanya dalam konteks lokal, tetapi juga pada konteks global. Apabila tidak tertangani, masyarakat Asia Tenggara hanya akan menjadi konsumen pasif dari AI.
“Dengan dinamika yang begitu cepat, harus dipastikan bahwa kita selangkah lebih maju. Indonesia sendiri telah melakukan berbagai upaya seperti mengeluarkan white paper dan safeguards serta berkoordinasi dengan berbagai sektor kementerian,” tegas Meutya.
Sesi pleno dilanjutkan dengan kuliah umum dari Ang Peng Hwa, Profesor asal Nanyang Technological University (NTU). Ang Peng Hwa menyampaikan bahwa terdapat beberapa dampak dari penggunaan AI dalam level individu, yakni menurunnya keberagaman, menurunnya daya berpikir kritis, serta semakin maraknya penggunaan AI sebagai “teman”.
Untuk mengatasi dampak-dampak tersebut, diperlukan solusi yang melibatkan kolaborasi dan kemitraan berbagai sektor, seperti perusahaan, baik yang merancang maupun menggunakan AI, bisnis, pemerintah, hingga kelompok masyarakat sipil.