Rhapsody of the Archipelago Gamelan 4.0: Menghidupi Bangsa Sendiri Lewat Pelestarian Budaya

Yogyakarta, 19 September 2019—Dalam perayaan, kebahagiaan melimpah-limpah. Dalam perayaan, rencana-rencana baik dipupuk dan dirancang. Kamis lalu, FISIPOL UGM merayakan ulang tahunnya yang ke-64. Setelah dilaksanakan lomba pembuatan tumpeng antardepartemen pada hari yang sama, Press Conference ROTA (Rhapsody of the Archipelago) digelar di Digilib Cafe FISIPOL UGM. Acara tersebut membuka rangkaian pelaksanaan Dies Natalis FISIPOL UGM yang puncaknya akan diselenggarakan pada 30 November mendatang.

Dalam forum tersebut, hadir Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng. (Rektor Universitas Gadjah Mada), Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si, (Dekan FISIPOL UGM), Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA., (Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM), Sabrang Mowo Damar Panuluh (Vokalis Grup Band Letto), dan Ari Wulu (Program Director Yogyakarta Gamelan Festival). Dua orang yang disebut terakhir digandeng fakultas untuk mendukung pelaksanaan acara puncak Dies Natalis yang akan mengambil tempat di Lapangan Graha Sabha Pramana.

Pada 30 November nanti, pihak fakultas akan menyelenggarakan pagelaran gamelan kolosal bertajuk Rota Gama 4.0. Penyematan istilah 4.0 tersebut, menurut Erwan, mengacu pada industri 4.0. Dalam perhelatan Rota Gama 4.0, pihak kampus banyak melibatkan talenta terbaik tanah air lewat kolaborasi musik modern dan tradisional. Kolaborasi keduanya, kita harap, tentu tak cuma menghasilkan pertunjukan musikal yang tipikal dan lesu. Hal tersebut menunjukkan usaha Universitas Gadjah Mada menawarkan lokalitas lewat kemasan yang anyar dan lebih menarik.

“Ajakan kampus untuk melibatkan saya di sini (Rota Gama 4.0) adalah uluran tangan yang luar biasa,” kata Ari Wulu. Bersama Sabrang, ia mengambil peran sebagai mitra kreatif dalam Rota Gama 4.0. Dalam perhelatan Festival Kesenian Yogyakarta Juli lalu, Ari dan Sabrang telah bekerja sama mengadakan pertunjukan sejenis lewat kolaborasi Grup Band Letto dengan Komunitas Gamelan Gayam 16 di Pendopo Art Space, Banguntapan, DI Yogyakarta. Keberhasilan acara tersebut sedikit banyak membuat kampus memutuskan untuk melibatkan keduanya.

Bagi Ari, kesadaran untuk menghidupkan produk budaya lokal layak dimiliki setiap orang. “Saya berharap, acara semacam ini (Rota Gama 4.0) dapat memajukan bangsa sekaligus menciptakan persatuan lewat forum-forum kebudayaan,” kata Ari. Kebudayaan, tutur Ari, memang tak cukup diusahakan sebatas untuk tetap ada. Ia (kebudayaan) harus dikembangkan supaya bisa bertahan sekaligus tumbuh subur di tengah hidup dan peradaban yang berjalan terus. “Kebudayaan yang maju adalah yang dikembangkan. Usaha untuk membuatnya (kebudayaan) tetap ada hanya akan menjadikannya pajangan di ruang-ruang museum,” tambahnya.

Lewat Rota Gama 4.0, Universitas Gadjah Mada berniat menghidupkan kembali kebudayaan asli Indonesia di tengah gempuran modernisasi, bahkan membuatnya mendunia. Hal senada juga diutarakan oleh Sabrang. “Kita tentu ingin mendapat tempat untuk tampil di pentas dunia. Untuk mencapai itu, kita tak boleh lupa untuk terlebih dahulu menghidupi diri kita sendiri,” tutur Sabrang. Dalam hal ini, tentu tak berlebihan menyebut perhelatan Rota Gama 4.0 sebagai “usaha menghidupi diri sendiri” sebagaimana yang dimaksud Sabrang.

Pelestarian budaya, kita tahu, bisa jadi cara paling sepele sekaligus sulit untuk mewakili kecintaan suatu bangsa pada dirinya sendiri. Lewat acara-acara sejenis Rota Gama 4.0, harapan untuk melihat kecintaan semacam itu diharapkan akan terus tumbuh. Dari situ, kita tak akan melihat bangsa Indonesia sebagai saldo-saldo peradaban yang tergerus oleh waktu dan tak mampu mempertahankan hidupnya sendiri. (/Snr)