Yogyakarta, 5 Agustus 2024─Dalam upaya untuk membedah masalah dan mencari solusi mengenai ketahanan pangan, Departemen PSdK menyelenggarakan acara Social Development Talks (SODET) Edisi Spesial Dies Natalis PSdK ke-67. SODET edisi spesial kali ini membawa tema “Diskusi Pertanian dan Pangan: Mewujudkan Ketahanan Pangan untuk Masyarakat Sejahtera. Diskusi digelar secara luring di BRIWork Fisipol UGM pada Senin (5/8) yang lalu dan dihadiri oleh berbagai kalangan akademisi dan praktisi pertanian.
Thomas Reuter, seorang Antropolog Australia membuka diskusi dengan pemikirannya mengenai keterkaitan antara sistem sosial dengan sistem pangan. Ia yakin bahwa sistem pangan tidak mampu dilepaskan dari budaya dan sistem sosial masyarakat. “Budaya masyarakat sekitar akan sangat memengaruhi bagaimana proses produksi pangan, contohnya saja tidak ada yang menanam gandum di Indonesia, kan?” Jelasnya.
Selain itu, ia juga menggarisbawahi tantangan ketahanan pangan yang dihadapi oleh dunia saat ini. Seperti peningkatan permintaan terhadap pangan, perubahan iklim, dan distribusi yang tidak merata. Ia juga menekankan kesalahan revolusi hijau pada masa Orde Baru yang pada akhirnya mengorbankan masa kini. “Apa yang terjadi di masa lalu seperti revolusi hijau yang meningkatkan hasil pertanian dengan cara narkoba bagi tanaman (pupuk kimia dan bahan kimia lainnya) menyebabkan penurunan produktivitas pada tanah,” terangnya.
Melalui penelitiannya bersama Graeme McRae, sesama Antropolog Australia, ia menemukan bahwa petani-petani kecil non-industri justru menjadi salah satu jawaban untuk permasalahan ini. Thomas dan Graeme meyakini bahwa pertanian yang berskala besar pada akhirnya cenderung merusak lingkungan dan bersifat kapitalis semata. Justru petani-petani kecil dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya mereka lebih tepat dan mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan pangan masyarakat dunia serta mampu menjaga lingkungan tetap berkelanjutan. “Industri pangan besar tidak terbukti mampu memenuhi kebutuhan pangan, tetapi petani kecil dengan sumber daya kecil terbukti mampu memenuhi kebutuhan pangan dengan efek negatif yang lebih sedikit,” ujar Graeme.
Senada dengan hal tersebut, TO Suprapto, Founder Joglo Tani menyampaikan refleksinya atas praktik pertanian yang sudah dilakukan. Menurutnya ketahanan pangan dan pertanian itu sendiri terkait erat dengan budaya. Sebab itulah, praktik pertanian di Joglo Tani menekankan pada falsafah tani mengenai bagaimana pemahaman budaya menjadi identitas dari insan Joglo Tani yang dijalankan di keseharian dengan penuh kesadaran. “Budaya merupakan soko guru terhadap perubahan pola pikir dan perilaku untuk mengelola pangan,” ungkapnya.
Ia juga berpendapat bahwa petani tidak boleh berhenti pada bahasan ketahanan pangan saja. Menurutnya ada dua tingkatkan lagi yang seharusnya perlu diupayakan, yakni kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. “Bicara ketahanan pangan itu hanya yang penting ada makanan entah beli atau bantuan, kalau kemandirian pangan artinya sudah aktif produktif walau bibit dan pupuk masih beli, lebih baik lagi kedaulatan pangan yang artinya petani aktif, inovatif, kreatif sudah berdaulat dari awal sampai akhir,” terangnya.
Matahari Farransahat, Dosen PSdK kemudian juga menyampaikan keresahannya mengenai minimnya motivasi generasi muda untuk menjadi petani. Ia meyakini bahwa salah satu alasannya adalah citra menjadi petani yang kurang menjanjikan dan tidak menyenangkan. “Saat ini hal yang paling penting adalah menciptakan gairah generasi muda untuk menjadi petani yang turut memperhatikan ekologi moral,” tuturnya.
Sebagai penutup, TO Suprapto menyampaikan rekomendasi solusinya untuk mengatasi berbagai solusi yang sudah dibahas. “Ada 6 tekanan yang dihadapi petani saat ini. yaitu tekanan ekonomi, alam, sosial, budaya, global, dan kebijakan,” jelasnya. Ia yakin dengan menghilangkan tekanan tersebut, kehidupan petani menjadi lebih baik dan kedaulatan pangan bisa dicapai.
Dengan berbagai diskusi tersebut, diharapkan tujuan pembangunan berkelanjutan poin ke-2 tanpa kelaparan, poin ke-10 berkurangnya kesenjangan, poin ke-12 konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, poin ke-13 penanganan perubahan iklim, dan poin ke-15 ekosistem daratan.