Sharing Sesession Fisipol Creative Hub, Dini: Kesehatan Mental Tanggung Jawab Kita Bersama!

Yogyakarta, 7 November 2019—Fisipol Creative Hub Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) kali ini mengangkat topik kesehatan mental dalam sharing session mingguanya. Dengan mengundang dua changemakers Fisipol Creaktive Hub yang bergerak dalam isu kesehatan mental, Fisipol Creative Hub turut mengundang secara khusus psikolog yang juga merupakan konselor aktif di Career Development Center (CDC) Fisipol UGM. Sharing session kali ini ramai dikunjungi peserta dari berbagai latar belakang, tidak terbatas dari mahasiswa Fisipol saja, mahasiswa Fakultas Psikologi hingga masyarakat umum pun turut hadir meramaikan.

Digelar di Digital Library Café pada Kamis silam, peserta terlihat sangat antusias dalam mengikuti sharing session tersebut. Disamping sharing dari dua changemakers Suarakan dan Rumah Harmoni yang menggandeng inisiatifnya dalam bentuk startup untuk  berkontribusi dalam menyelesaikan isu kesehatan mental yang masih menjadi tantangan besar bagi masyarakat Indonesia, khususnya stigma dan diskriminasi, dalam diskusi tersebut banyak pula dibahas kesehatan mental dari perspektif Dini Wahida, psikolog.

“Ketika menilik isu kesehatan mental di Fisipol, dapat dilihat data bahwa 72% permasalahan yang terlaporkan mengalami kecemasan, 1% mengalami depresi, dan 7% mengalami masalah psikologis,” jelas Dini. Menurutnya sebagian besar masalah tersebut hadir karena adanya perbedaan ekspektasi terhadap realita yang terjadi seperti dalam hubungan, lingkungan kerja, dan juga tentunya lingkungan perkuliahan. Dini melihat bahwa sejatinya, seperti kesehatan fisik, kita semua memiliki imun, begitu pula kesehatan mental.

“Kita sebagai manusia sebenarnya memiliki potensi imun baik itu fisik maupun mental, untuk menyelesaikan masalah kita sendiri,” jelas Dini. Ia melanjutkan, namun sayangnya masih banyak stigma dan diskriminasi yang di cap oleh masyarakat umum terhadap orang yang memiliki isu terhadap mental karena memang walaupun kita memiliki imun, namun tidak jarang kita memiliki batas ketahanan.

“Stigma dan diskriminasi masih terjadi baik itu secara overt dan covert, dimana hal tersebut berdampak pada diskriminasi, bullying, yang akhirnya berpengaruh pada wellbeing seseorang yang sedang mengalami ketidakstabilan mental,” tambah Dini. Covert merupakan upaya yang tampak atau secara tidak kasat mata terlihat, sedangngkan overt sebaliknya.

Dini berkali-kali menekankan bahwa kesehatan mental bukanlah sebuah aib. “Carilah professional apabila mengalaminya, namun janganlah self diagnose,” ujarnya. Adanya impresi bahwa isu mental merupakan tabu dan aib menyebabkan isu ini dikesampingkan. Menurut Dini, apabila sudah terlanjur melakukan self diagnosis jangan pernah sungkan untuk mengkonsultasikanya ke professional.

Kurangnya sumber daya alam dan psikolog ahli menjadi salah satu hambatan yang dicurahkan oleh Dini mengenai kecepatan penyelesaian atau respon terhadap kesehatan mental yang dialami oleh indivindu. “Oleh karena itulah kita memiliki peer conselour di Fisipol yang sudah menjalani training selama satu tahun untuk membantu teman-teman sebaya dalam mengatasi permasalahan kesehatan mental.” Tambahnya. Sekali lagi menurutnya, masalah kesehatan mental merupakan masalah penting bersama. “Masalah mental health adalah masalah dan tanggang jawab kita bersama,” ungkap Dini tegas. (/fdr)