#SmallTalk Bareng Kartitedjo: Suka Duka Usaha di Bidang Budaya

Yogyakarta, 2 Juli 2020—Creative Hub FISIPOL UGM bersama Kartitedjo mengadakan #SmallTalk perdananya yang bertajuk “Suka Duka Usaha di Bidang Budaya” melalui Live Instagram pada Selasa (2/7). Kartitedjo adalah sebuah bisnis sosial yang melestarikan budaya Jawa lewat konten-konten kreatif audiovisual dan isu sosial. Diskusi dimulai pada pukul 16.00 WIB dengan dimoderatori oleh Dendi. Beberapa anggota tim Kartitedjo turut mengisi acara perdana ini.

Kartitedjo terbentuk pada tahun 2016 oleh sembilan pemuda yang memiliki keresahan yang sama, yaitu keturunan Jawa tetapi merasa tidak tumbuh dan berkembang dengan kebudaan Jawa, melainkan dengan budaya-budaya luar yang masuk. Nama Kartitedjo sendiri memiliki makna filosofis, Karti berarti Karepeng Ati dan Tedjo berarti Teladaning Djiwo. Maknanya, Kartitedjo terbentuk atas dasar panggilan hati dan harus dijalani dengan sepenuh hati ketika sudah terjun di bidang tersebut. “Kami mengambil falsafah bahwa kalo ini dah kemauan dari hati, yaudah dijalanin,” ucap Ulul.

Menurut Gabra, pada awalnya mereka terkendala secara teknis karena fasilitas yang dimiliki belum mewadai, mereka harus meminjam atau menyewa terlebih dahulu sembari menabung untuk berprojek kesana kemari, entah komersil maupun nonkomersil. Selain itu, secara non teknis juga sempat kebingungan untuk mengolah projek agar sesuai dengan generasi millenial.  Meskipun begitu, Nizar, mengaku lebih banyak sukanya daripada dukanya, karena mereka bisa menjalin relasi yang luas, lebih mengenal berbagai komunitas kebudayaan lain. Sedangkan Amir, satu-satunya anggota yang bukan keturunan Jawa, ia mengaku kesulitan dalam berkomunikasi karena pengetahuan bahasa Jawa yang masih kurang. Kendala komunikasi juga dialami sewaktu menggarap event disabilitas. Namun, ia selalu mensiasatinya dengan terus belajar dan beradaptasi. “Jadi, kita di Kartitedjo itu terus belajar, terus beradaptasi sesuai dengan klien yang dihadapi,” ungkapnya.

Selama pandemi ini, Kartitedjo disibukkan dengan improvisasi diri dan keadaan agar tetap berkarya. Pasalnya, selama pandemi tidak pernah mendapat izin untuk keramaian padahal sering mendapat job dari pementasan, seni musik, dll. “Dari situ kita kesulitan dimana kita sering kerja lapangan, terus tibatiba pandemi 3 bulan gada event sama sekali, sulitnya disitu,” ucap Amir. Dari sini mereka berpikir keras bagaimana caranya bisa bertahan sebelum akhirnya memutuskan mau tidak mau tetap ngambil job, tetapi tetap sesuai dengan protokol kesehatan. Itupun tidak semua tim yang bisa terjun ke lapangan. Mereka juga hanya berfokus di wilayah DIY, meskipun biasanya sering ke luar kota.

Selain produksi konten video, Kartitedjo juga mengadakan workshop. Menurut pengakuan Ulul, ia tidak ingin Kartitedjo mengkapitalisasi atau menggarap semua kebudayaan yang ada, justru mereka senang jika ada masyarakat yang mau belajar bareng agar jiwa kolektifnya mengena karena bagaimana pun juga masyarakat sendiri yang lebih tahu tentang kebudayaannya. Menyinggung soal masa kecil yang tidak terlalu paham dengan budaya Jawa, Kartitedjo menyiasatinya dengan srawung, sering bersosialisasi, mencoba menyelami komunitas-komunitas kebudayaan meskipun tidak tahu. Salah satu unsur ketahanan bisnisnya Kartitedjo adalah mau bersosialisasi.

Diskusi berakhir pada pukul 17.00 WIB. Siaran ulang dapat ditonton melalui halaman IGTV @chubfisipol. (/Wfr)