
Yogyakarta, 8 Mei 2025—Suci Lestari Yuana, kerap di sapa Nana, dosen Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (HI Fisipol UGM) sekaligus peneliti dalam Institute of International Studies (IIS) UGM, mempresentasikan monografnya bertajuk “STAIR and the Futures of International Relations from Indonesia”. Monograf yang disusun bersama Okky Madasari dan Tane Hadiyono tersebut dipresentasikan dalam acara “Planetary Politics/PHRG Event” yang diselenggarakan oleh Post-Human Research Group dari Departemen Hubungan Internasional Universitas Aberystwyth secara daring pada Kamis (8/5).
Dalam acara tersebut, Nana mengajak para peserta untuk memandang ilmu Hubungan Internasional melalui perspektif yang lebih inklusif, inovatif, dan interdisipliner. Ia menekankan bahwa kerangka berpikir HI yang selama ini didominasi oleh perspektif dan metode Barat sering kali tidak relevan jika diterapkan pada negara-negara Global South. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan baru yang berbasis pada pengalaman dan dinamika yang lebih relevan dengan kondisi Global South.
Eksplorasi untuk mengembangkan perspektif baru itu dilakukan, salah satunya, melalui Science, Technology, and Arts in International Relation (STAIR). Melalui kelas-kelas STAIR, Nana bereksperimen dengan metode-metode yang tidak konvensional untuk membongkar ulang cara berpikir dalam disiplin ilmu HI.
Dalam satu sesi kelas, misalnya, mahasiswa diminta untuk tidak menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris untuk berkomunikasi. Tantangan ini mendorong mereka untuk berimprovisasi dan menciptakan “bahasa” sendiri atau menjadi penerjemah bahasa daerah bagi mahasiswa lainnya. “Latihan ini dilakukan untuk memancing perasaan keterasingan. Tujuannya agar mahasiswa merasakan bagaimana rasanya dikecualikan, tetapi tetap berusaha mencari koneksi,”, jelas Nana. Menurutnya, hal ini menunjukkan bagaimana solidaritas tidak hanya lahir dari keseragaman, tetapi juga melalui upaya bersama untuk saling memahami di tengah perbedaan.
Eksperimen lain dilakukan dengan mengunjungi Museum UGM, yang sering kali dianggap sebagai ruang netal, tetapi nyatanya dikurasi melalui lensa developmentasi dan teknokratis. Hal ini memicu mahasiswa untuk mengkritisi mengenai bagaimana terdapat narasi tertentu dibentuk dalam ruang publik serta bagaimana hal tersebut memengaruhi cara kita memahami sejarah dan identitas. Tak hanya itu, kelas STAIR bereksperimen dengan metode ungrading, yang berarti semua mahasiswa diberikan nilai sempurna terlepas dari kehadiran dan performa dalam kelas. “Kami ingin menghapus tekanan akademik agar mahasiswa bisa fokus pada proses belajar yang lebih reflektif dan bermakna,”, ujar Nana.
Melalui pendekatan-pendekatan ini, Nana menunjukkan bahwa pembelajaran HI tidak harus terjebak dalam formalitas akademik. Dengan membuka ruang eksperimen dan refleksi, ilmu HI bisa menjadi lebih kontekstual dan relevan dengan realitas negara-negara Global South. Terlebih, hal ini juga mendorong meningkatnya kualitas pendidikan yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-4 (pendidikan berkualitas).