Tantangan dan Catatan Pemilu Serentak 2024: Beban Kerja, Money Politic, hingga Gentong Babi

Yogyakarta, 21 Februari 2024─Penyelenggaraan pemilu serentak 2024 yang telah dilaksanakan pada 14 Februari lalu meninggalkan tantangan dan catatan dari masyarakat, pengamat politik, maupun akademisi. Pares Indonesia bersama Perludem, Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol, dan Election Corner gelar diskusi bertajuk “Jalan Terjal Menjaga Integritas Pemilu Serentak 2024” di Taman Sansiro Fisipol dan siaran langsung Youtube Pares Indonesia pada Rabu (21/02). “Tantangan pemilu 2024 ini jauh lebih berat daripada pemilu sebelumnya tahun 2019. Datanya saya ambil dari indeks Kerawanan Pemilu ada netralitas, kemudian beban kerja, polarisasi masyarakat, money politic, hingga problem SIREKAP,” jelas Umi Illiyana, Anggota Bawaslu DI Yogyakarta. Umi juga menyebut bahwa terdapat kasus khusus di Yogyakarta terkait tingkat partisipasi pemilih dari mahasiswa rantau. Sebagai pemilih pindahan, banyak mahasiswa rantau di DIY yang tidak bisa menyalurkan hak pilihnya.

Emanuel Prince, Mahasiswa UGM Anggota KPPS bercerita tentang pengalamannya sebagai Ketua KPPS di lingkungan rumahnya, di Tangerang. “Pertama problem itu dari load kerjanya, mau gak mau jumlah surat suaranya sebanyak 5 model, jumlah pemilih, lalu soal digitalisasi terutama Sirekap yang pada hari-H sistemnya down,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa pada hari-H pelaksanaan pemilu, petugas KPPS bekerja dengan durasi 20-24 jam penuh.

Sementara itu, Mada Sukmajati, Dosen DPP Fisipol menyebut ada dua konsep penting yakni electoral integrity dan electoral malpractice. Secara singkat electoral integrity adalah sejauh mana pemilu dilaksanakan secara free and fair dan kepatuhan pemilu pada norma dan standar internasional. Menurut Mada, dampak pemilu yang diselenggarakan dengan mencederai prinsip electoral integrity akan menghasilkan banyak electoral malpraktis.

“Misalnya, dia jelas akan mengurangi kualitas representasi, kualitas keterwakilan kita dengan wakil-wakil rakyat kita, baik yang duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif. Kemudian bisa mengurangi legitimasi dari pemerintahan terpilih. Bisa juga dia akan mendorong terjadinya korupsi-korupsi politik, ini kalau kita bicara malpraktis ya,” jelas Mada.

Heroik M. Pratama, Peneliti Perludem, menggarisbawahi tentang electoral malpractice yang terbagi dalam 3 layer malpraktik, yaitu 1) manipulasi institusi, 2) manipulasi pemilih, dan 3) manipulasi suara dalam proses rekapitulasi suara. 

“Kalau kita mau lihat integritas pemilu dan malapraktik pemilu, kita gak hanya bisa lihat dalam satu tahapan. Kita harus lihat dari keseluruhan tahapan. Nah, salah satunya adalah pre-election-nya,” ungkap Heroik.

Heroik menjelaskan malpraktik pemilu 2024 pre-election yang terjadi seperti absennya revisi kerangka hukum pemilu, pembentukan tim seleksi nasional, cacatnya pelolosan partai politik, daerah pemilihan, mantan terpidana yang mencalonkan diri, kuota 30% pencalonan perempuan hingga laporan dana kampanye. 

Terakhir, diskusi menyoal tentang politik Gentong Babi yang marak terjadi. Menurut Umi, penyebab terjadinya politik Gentong Babi hingga money politic disebabkan oleh celah regulasi yang dimanfaatkan oleh peserta pemilu. Hal ini sejalan dengan pendapat Mada tentang kelemahan UU Kepemiluan.

“Undang-Undang Kepemiluan kita yang dari pengalaman selama ini menunjukkan ada banyak sekali kelemahan. Salah satunya adalah undang-undang pemilu kita itu tidak sekedar komprehensif tapi juga tidak sinergi,” jelas Mada. (/dt)