Tantangan New Normal Melahirkan Transformasi Besar

Yogyakarta, 29 Mei 2020—Pusat Inovasi dan Kajian Akademik UGM kembali menggelar program UGMtalks dalam serial diskusi “Menyiapkan Kenormalan Baru Pasca Pandemi COVID-19” mulai Selasa, 19 Mei 2020. Pada seri ketiga yang diadakan Jumat (29/5), UGMtalks mengusung topik Kelahiran Interaksi Sosial dan Budaya Baru dengan menghadirkan para akademisi, diantaranya M. Najib Azca, Ph. D dari FISIPOL UGM, Prof. Irwan Abdullah dari FIB UGM, dan Novri Susan, Ph. D dari FISIPOL UNAIR. Diskusi dimulai pada pukul 10.00 WIB via fitur Instagram Live @ugmchannel dan Youtube Live di UGM Channel dengan dimoderatori oleh Dr. Irwan Endrayanto.

Diskusi ini membahas bagaimana konsep new normal dapat diterapkan di Indonesia dimana jika dilihat dari segi sosial paling tidak memiliki dua dimensi. Yang pertama, new normal di level masyarakat artinya mereka harus hidup menyesuaikan dengan situasi pandemi ini yang mengubah sebagian dari tata cara hidup mereka. Tentu saja dalam hal ini terdapat variasi yang sangat banyak karena masyarakat Indonesia yang sangat plural dari situasi pandemi yang berbeda-beda di setiap daerah, ada daerah yang bertanda merah, kuning, hijau dan lainnya. Yang kedua, new normal di level pemerintah yang menjadi pilihan kebijakan dari negara untuk merespon situasi pandemi yang berkepanjangan ini di mana kita tidak mungkin menghentikan semua aktivitas. Kita harus memasuki periode yang baru di mana situasi pandemi masih berada di sekitar kita sementara produktivitas publik harus mulai digerakkan karena daya tahan sistem sosial, ekonomi, dan politik kita terbatas dan terus-menerus didera oleh COVID-19.

Hal ini menarik perhatian pengamat kebijakan mengenai bagaimana masyarakat menyesuaikan diri atau merespon terhadap pandemi. Seperti yang kita tahu keberagaman masyarakat, di satu sisi ada respon yang cenderung menaati protokol-protokol yang disusun pemerintah oleh otoritas kesehatan, tetapi ada juga kelompok-kelompok lain yang mungkin memiliki sumber otoritas yang lain, baik otoritas kebudayaan atau otoritas keagamaan. Maka, situasi yang tidak mudah ini dibutuhkan sinergitas semua pihak untuk menyukseskan konsep normal baru.  “Saya kira tantangan yang besar untuk masyarakat Indonesia yang memang memiliki kemajemukan yang tinggi sehingga terus-menerus ada proses komunikasi dan sinergi besar-besaran baik di level antar warga dengan pemerintah bahkan di level pemerintahan sendiri,” ujar Najib Azca.

Kedisiplinan masyarakat juga menjadi perbincangan dimana syarat diterapkannya konsep new normal adalah ketertiban masyarakat mengikuti protokol-protokol kesehatan untuk dapat melanjutkan aktivitas. Disini, Prof. Irwan mendefinisikan new normal sebagai abnormal dalam artian normal baru yang lebih meningkat. Dalam hal ini Najib Azca menyetujui bahwa setiap proses produksi pembentukan normal baru merupakan respon terhadap krisis. Najib Azca menerangkan bahwa krisis selalu menghasilkan tantangan-tantangan baru sekaligus merupakan kesempatan baru untuk melakukan transformasi sosial. Satu sisi jika kita sikapi secara positif merupakan momentum besar pada bangsa kita untuk melakukan transformasi besar dengan membangun budaya-budaya baru termasuk disiplin-disiplin baru. “Jadi bagaimana kita membangun budaya baru dan disiplin baru itu adalah salah satu cara kita merespon krisis yang awalnya adalah krisis medis,” ungkapnya.

Pandemi COVID-19 yang awalnya krisis medis memiliki dampak pada krisis sosial, ekonomi, politik dan lain-lain memaksa kita untuk membangun sebuah budaya baru yaitu kita hidup dengan cara yang lebih sehat dan produktif dengan cara bekerja jarak jauh menggunakan teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa krisis besar yang sedang kita alami justru menjadi sebuah momentum transformasi besar juga dimana kita menjadi lebih hidup sehat dan semakin akrab dengan teknologi dalam produktivitas. (/Wfr)