Tantangan Sistem Pendidikan Indonesia dalam Pembentukan Karakter Generasi Muda Sebagai Intelektual Muda

Yogyakarta, 30 Oktober 2018-Muncul keprihatinan pada akademisi akibat adanya sistem pendidikan yang dikomodifikasi, sehingga mengurangi perannya dalam pembentukan karakter pemuda sebagai intelektual muda. Pendidikan seolah hanya “menjual” Ilmu tanpa mendidik. Dalam mengkritisi hal tersebut, Departemen Sosiologi Fisipol UGM mengadakan Diskusi Publik bertajuk Menggagas Ulang Formasi Subjek Intelektual Muda Yang Kritis dan Emansipatoris sekaligus menjadi momen peringatan Sumpah Pemuda dan mengenang kepergian Alm. Dana Zakaria Hasibuan Dosen Departemen Sosiologi.

Menjadi sekelompok orang  yang digadang-gadang untuk menjadi generasi penerus bangsa membuat pemuda terasa menjadi objek negara, “dikontrol” sedemikian rupa sesuai cita – cita negara. Salah satunya melalui sistem pendidikan, negara mampu membentuk karakter seorang pemuda.

Tri Subagya Dosen Universitas Sanata Dharma mengawali diskusi dengan pembahasan mengenai tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan dalam pembentukan subjek intelektual muda. “Kondisi ilmu pengetahuan saat ini berelasi dengan kuasa, mengakibatkan pendidikan menjadi tercerabut dari fungsi sebenarnya,” kata Tri Subagya.

Selanjutnya, ia menyampaikan bahwa pasca reformasi pendidikan masih terkonsentrasi pada beberapa kota. Pendidikan pada lingkup Universitas semakin tertantang pula dengan munculnya sektarian, fragmen dan politik identitas di dalam maupun di luar kampus. Implikasinya adalah terdapat kontrol yang membuat generasi muda tidak kritis dan terjebak dalam kepentingan tertentu.

“Gerakan sosial tidak menciptakan satu pemikiran atau militansi yang kritis. Namun, populisme hadir lebih kuat tanpa konten ideologis,” imbuh Tri Subagya.

Heru Nugroho Dosen Departemen Sosiologi Fisipol UGM kemudian mengajak peserta diskusi untuk membahas mengenai bagaimana menjadi intelektual muda yang kritis dan emansipatoris dengan merefleksikan beberapa intelektual muda cendekiawan Indonesia seperti; Arif Budiman, Soedjatmoko, Nurchloish Madjid, dan Koentowijoyo. Ia juga pengertian intelektual dengan merefleksikan cara kerja seniman dan bagaimana seniman mencari kegembiraan.

“Tujuan utama seorang intelektual adalah bukan hanya untuk mengejar tujuan praktis dan kepentingan pribadi. Misalnya, penelitian dilaksanakan untuk tujuan skripsi atau thesis saja, untuk kebutuhan dan gaya hidup saja,” kata Heru Nugroho.

Ia menambahkan pula, bahwa Universitas merupakan “mesin” yang diciptakan oleh Kemenristekdikti. Menurutnya, hal ini membuat akademisi dan mahasiswa menjadi terjebak dalam rezim institusi dan administrasi.

Damayanti Buchori Dosen Institut Pertanian Bogor menyayangkan hal tersebut. Ia menyampaikan bahwa sistem pendidikan sebaiknya dibangun sebagai habitat yang selanjutnya dapat membentuk habitus dan karakter pemuda sebagai intelektual yang kritis.

“Harapan saya, tidak hanya mewujudkan ilmu interdisipliner, melainkan juga transdisipliner agar pemuda dapat memahami dan mengkritisi lingkungan sekitarnya melalui berbagai perspektif,” kata Damayanti Buchori.

Mewujudkan program transdisipliner merupakan solusi yang ditawarkan oleh Damayanti Buchori. Transdisipliner dipilih untuk membangun pandangan yang diperlukan dan mengeksplorasi makna baru yang bersinergi. Selain itu, transdisiplin menjadi pengetahuan praktis yang bersifat reflektif yang mempertimbangkan pluralitas dan kompleksitas kondisi manusia.

“Terdapat dua dimensi yang terdapat dalam ilmu transdisiplin yaitu, science dalam masyarakat dan science dalam aktivitas sosial,” imbuh Damayanti Buchori.

Rangkaian acara In memoriam Alm Dana Zakaria Hasibuan diisi oleh berbagai macam testimoni dari beberapa Dosen Sosiologi yang akrab dengan Bung Dana.

“Acara ini diselenggarakan bukan untuk menangisi kepergian Bung Dana. Tetapi, untuk memahaminya sebagai bagian kehidupan untuk melangkah maju dan mewujudkan cita – cita Bung Dana, kaum muda harus menjadi subjek yang aktif dan parsipatif,” kata Arie Sujito Dosen Departemen Sosiologi dalam sambutannya.

Damayanti Buchori yang hadir sebagai pembicara sekaligus sebagai Ibunda Alm. Dana Hasibuan memberikan testimoni dan membacakan puisi yang membuat haru seluruh hadirin.

Rangkaian acara ini ditutup oleh Najib Azca Dosen Departemen Sosiologi sebagai pemandu acara dengan menyanyikan lagu dari Iwan Fals berjudul Bung Hatta yang diwarnai dengan tangis haru dan rindu untuk Bung Dana. (/pnm)