Tiongkok sebagai Negara ‘Versi’ Sendiri  

Yogyakarta, 26 April 2019—Institute of International Studies (IIS) UGM mengadakan rangkaian acara lanjutan dari Forum “Beyond the Great Wall”. Seri diskusi kali ini membahas mengenai bina bangsa Tiongkok yang diisi oleh dua pembicara utama.

Randy Wirasta Nandyatama selaku pembicara pertama membahas mengenai pemilihan umum langsung yang ada di Tiongkok. Sebelumnya, Randy mengatakan bahwa diskusi ini berawal dari kekhawatiran teman-teman Ilmu HI terkait pandangan publik terhadap Tiongkok sebagai negara yang saat ini sedang menjadi perhatian.

“Tiongkok sendiri juga tidak mau publik memandang mereka secara sederhana sebagai negara komunis, represif, dan tidak mengakui HAM,” ujarnya.

Mengawali pembahasannya, Randy menjelaskan mengenai struktur pemerintahan Tiongkok yang hingga saat ini masih didominasi oleh Partai Komunis Cina yang melihat diri mereka sebagai ‘penjaga’ bangsa. Kuatnya dominasi partai ini dapat dilihat dari adanya tentara PKC yang berlaku sebagai tentara nasional Tiongkok.

Namun meskipun demikian, Tiongkok juga memiliki sistem pemilihan umum langsung yang dilakukan di tingkat desa. Meskipun masih ditemukan cela dalam sistem pemilihan umum ini, akan tetapi hal ini membuktikan bahwa Tiongkok tidak sepenuhnya merupakan negara non-demokratis.

Proses pemilu ini kemudian dijadikan sebagai strategi public relation PKC supaya dunia internasional tetap melihat Tiongkok sebagai negara yang tidak sepenuhnya non-demokratis.

Berbicara mengenai Tiongkok tidak akan lengkap tanpa membicarakan mengenai upaya-upaya reformasi yang biasanya terjadi secara spontan dan sporadic. “Reformasi Tiongkok merupakan salah satu reformasi yang sangat maju, dimana salah satu hasilnya adalah perubahan sistem ekonomi komunis menjadi liberal,” jelas Randy.

Memasuki pembicara kedua, Nuruddin Al Akbar membahas mengenai bagaimana pandangan publik melihat Tiongkok. “Tiongkok dianggap sebagai salah satu kegagalan ideologi komunisme, namun apakah itu benar-benar merupakan kegagalan, atau kegagalan dalam cara pandang melihat Tiongkok?” ujar Nuruddin.

Menurutnya, selama ini Tiongkok selalu dilihat dari cara pandang versi barat, sehingga adanya ketidaksesuaian salah satu prinsip dianggap sebagai penyimpangan. Namun yang sebenarnya terjadi adalah, Tiongkok dibangun atas ide komunisme Mao Ze Dong sendiri yang tidak terpaku pada proyeksi komunisme ala Eropa.

Tiongkok kemudian menjadi negara versi mereka sendiri. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, negaranya memiliki sistem pemilu langsung. Namun hal tersebut tidak lantas menjadikan Tiongkok sebagai negara demokratis.

Tiongkok seolah ‘mencampur’ ide-ide yang ada untuk menjadi negara versi mereka sendiri. hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kapitalis komunisme dan eksperimen demokrasi. Apabila dilihat lebih lagi, kedua hal tersebut seperti penggabungan dari apa yang selama ini kita kenal sebagai nilai demokrasi dengan ide komunisme Tiongkok sendiri.

Bukti lain yang menunjukkan bahwa Tiongkok merupakan negara komunis versi mereka sendiri adalah fakta bahwa komunisme Tiongkok masih bertahan hingga saat ini, sedangkan komunisme Soviet sudah jauh lama runtuh.

“Dalam memahami komunisme ala Tiongkok, ada dua filosofi utama yang digunakan, yaitu Konfusianisme dan Taoisme,” ujar Nuruddin. Taoisme dipandang sebagai filosofi yang lebih fleksibel, layaknya air, dan berfokus pada peniadaan kemelekatan.

Peniadaan kemelekatan ini yang kemudian menghasilkan ekonomi pasar terbuka di Tiongkok pada masa pemerintahan Deng Xiaoping. Adanya perubahan-perubahan di Tiongkok selanjutnya menjadi perubahan yang sangat alami, dengan tetap menjadikan ide-ide Mao sebagai dasar.

Diskusi yang dihadiri oleh sejumlah mahasiswa, baik dari UGM maupun luar UGM, dan beberapa dosen HI UGM ini diadakan di Ruang Sidang Dekanat Fisipol UGM. Sebelum akhirnya diskusi ditutup, Hendrawan selaku moderator mempersilakan peserta untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepada pembicara.

Antusiasme peserta dalam diskusi ini dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan. Akan tetapi, karena adanya keterbatasan waktu, maka tidak semua pertanyaan dapat diakomodasi. Sebagai gantinya, peserta dipersilakan untuk melakukan diskusi secara terpisah dan pribadi dengan para pembicara setelah acara selesai. (/Jkln)