FISIPOL UGM dan University of Melbourne Luncurkan Buku “Rethinking Histories of Indonesia”: Meninjau Ulang Kolonialitas Melalui Kolaborasi Akademik Internasional

Yogyakarta, 1 Oktober 2025—Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) bersama University of Melbourne meluncurkan buku berjudul Rethinking Histories of Indonesia: Experiencing, Resisting, and Renegotiating Coloniality di Auditorium lantai 4 Fisipol UGM. Acara ini menghadirkan empat pembicara lintas institusi, yakni Kate McGregor (University of Melbourne), Abdul Wahid (Universitas Gadjah Mada), Brigitta Isabella (Institut Seni Indonesia), dan I Ngurah Suryawan (Universitas Papua).

Buku ini menyediakan evaluasi kritis atas sejarah Indonesia dari masa kolonial hingga masa kini. Melalui lensa coloniality—yakni struktur kekuasaan dan kontrol yang menopang kolonialisme dan terus berlanjut hingga kini—buku ini menyoroti bagaimana warisan kolonial tetap hadir dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Menghadirkan tujuh belas penulis dari berbagai belahan dunia, buku ini menawarkan konseptualisasi alternatif atas sejarah Indonesia dan membuka lapisan-lapisan proses yang mereproduksi kolonialitas hingga masa modern.

Peluncuran ini menjadi wujud nyata kerja sama akademik internasional antara UGM dan University of Melbourne dalam mendorong refleksi kritis atas pengetahuan sejarah. Editor sekaligus kontributor buku, Abdul Wahid, menjelaskan bahwa riset kolaboratif seperti ini menjadi langkah penting untuk membangun kerja sama yang setara antara akademisi Global South dan Global North.

Dalam bab yang ia tulis berjudul “‘Oedjan belasting, the raining of taxes’: Coloniality and the Dutch Economic Exploitation of the Chinese”, Abdul Wahid membahas bagaimana sistem perpajakan pada masa Hindia Belanda menjadi alat eksploitasi terhadap kelompok Tionghoa dan pribumi.

“Dalam tiga dekade terakhir masa kolonial, melalui sistem perpajakan Hindia Belanda, Belanda mengeksploitasi penduduk Tionghoa bersama dengan penduduk pribumi,” jelas Wahid. Melalui analisisnya, Wahid menyoroti bagaimana posisi Tionghoa yang dilemahkan secara politik namun dieksploitasi secara ekonomi menjadi salah satu warisan kolonialitas yang panjang dan kompleks di Indonesia pascakolonial.

Sementara itu, Brigitta Isabella, penulis bab “After Recognition: Decolonial Re-affect Outside/Within the Museum”, membahas bagaimana institusi budaya seperti museum menjadi arena penting dalam perdebatan dekolonisasi. Dalam pemap[arannya, Brigitta menekankan bahwa perjuangan dekolonisasi tidak cukup berhenti pada recognition (pengakuan), tetapi perlu disertai redistribution dan resurgence—yakni upaya mengembalikan dan memulihkan sumber daya kultural, alam, dan ekonomi kepada komunitas yang selama ini termarjinalisasi.

“Kita seharusnya menuntut bukan hanya pengakuan, tetapi juga redistribusi dan kemunculan kembali. Yang perlu didistribusikan ulang dan diteliti adalah sumber daya bersama—sumber daya budaya, alam, dan ekonomi,” tambahnya.

Buku ini dan kerja sama antara UGM dan University of Melbourne mendorong pendidikan yang kritis, reflektif, dan inklusif. Melalui pendekatan decolonial, kolaborasi ini memperkaya cara berpikir akademik agar tidak hanya berpusat pada pengetahuan dari Barat, tetapi juga mengakui pengalaman dan perspektif dari Global South. Selain itu, melalui kolaborasi akademik lintas negara ini sekaligus mengadvokasi pembacaan ulang terhadap warisan kolonialitas sebagai langkah menuju pengurangan ketimpangan global. Dengan demikian, buku ini menjadi bukti bahwa riset kolaboratif dapat berkontribusi langsung pada pembangunan pengetahuan yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi masyarakat global. (/noor)