
Yogyakarta, 27 Februari 2025 — Unit P3M Fisipol UGM gelar Kuliah Umum Bersama (Joint Lecture) dengan mengundang pembicara dari Fisipol UGM dan Fisip UNHAS. Kuliah Umum Bersama ini bertajuk “Evaluasi Pilkada Serentak 2024 dari Perspektif Politik dan Sosiologis”. Dalam kuliah umum ini, turut mengundang Dr. rer. Pol. Mada Sukmajati, MPP sebagai dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) dan Dr.Arie Sudjito, S.Sos., M.Si. sebagai dosen Departemen Sosiologi. Sedangkan pembicara dari Fisip UNHAS turut mengundang, Dr.Sawedi Muhammad, M.Si dan Prof. Dr. Phil. Sukri, M.Si.
Acara ini dimulai dengan sesi pemaparan evaluasi Pilkada 2024 dari perspektif Politik. Fenomena Pilkada 2024 ini memunculkan celah tersendiri yang memantik diskursus akademik yang masih rumpang untuk dikaji. Dari tahap pencalonan, Pilkada 2024 ini memunculkan beberapa isu, seperti isu sentralitas yang diwujudkan dengan semakin maraknya uang mahar sebagai bekal awal pencalonan kepala daerah, politik dinasti, hingga semakin kurangnya transparansi & partisipasi publik. Kemudian, dalam tahap kampanye, tercatat beberapa isu yang luput dari diskursus kampanye.
“Pilkada itu adalah sebenarnya sarana, kesempatan, wahana bagi kita, masyarakat, untuk memilih pemimpin yang bisa menawarkan solusi atas isu-isu lokal,” terang Mada. Sehubungan dengan hal itu, permasalahan Pilkada dalam tahap kampanye tersebut juga menimbulkan konsekuensi terhadap tata kelola pemerintahan pasca Pilkada yang dilatarbelakangi oleh kualitas pemimpin daerah terkait.
Diskusi mengenai evaluasi Pilkada 2024 juga dilanjutkan dengan sesi pemaparan dari perspektif Sosiologi. Dalam pandangan Sosiologi sebagaimana dipaparkan oleh Arie Sudjito yang menekankan bagaimana demokrasi seharusnya tidak mati di kotak suara, melainkan perlu Pilkada harus dilihat dari perspektif memperkuat masyarakat sipil sebagai subjek.
“Saya ingin melihat Apakah reproduksi sosial yang terjadi di masyarakat terutama para pemilih itu menggambarkan Pemilu, Pemilukada itu sebagai arena untuk membangun konsensus politik. Yang terjadi adalah kegagalan partai-partai politik yang ditandai oleh populer disebut dengan praktik oligarki di dalam pengambilan keputusan di level partai politik dan pemilu yang begitu banyak menyedot energi yang ditandai oleh biaya politik yang begitu tinggi” jelas Arie. Konsekuensinya, hubungan antara partai politik dengan basis konstituensi semakin tidak terhubung. Selain terdapat faktor ketokohan, terdapat faktor uang (capital) yang bekerja akibat tidak adanya kontrak nilai,” ungkap Arie.
Dengan demikian, ajang Pilkada ini merupakan salah satu momentum yang dapat menjadi ajang dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Baik itu dimulai dari segi proses politik maupun menciptakan masyarakat sipil sebagai subjek dalam mendorong tata kelola pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan publik.