Webinar Diskusi Film CDC FISIPOL: Menguak Makna dan Simbol di Film Parasite

Yogyakarta, 8 Mei 2020—Film Parasite pasti sudah tidak asing lagi bagi kita. Film bergenre thriller/comedy ini merupakan film garapan sutradara Bong Joon-ho yang beberapa waktu lalu berhasil meraih empat penghargaan sekaligus di Oscar. Masih dengan ciri khasnya, sutradara Bong Joon-ho pun menyelipkan pesan-pesan yang sarat akan kritik sosial di film Parasite melalui simbol-simbol. Dalam rangka membahas pesan dan simbol dalam film Parasite, Career Development Center atau CDC FISIPOL UGM mengadakan webinar diskusi film bertajuk “Menguak Makna dan Simbol di Film Parasite” bersama Mashita Fandia, dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM.

Webinar yang dilaksanakan melalui platform Webex ini dipandu oleh Alfira Nuarifia, staf CDC, selaku host. Dimulai pada sekitar pukul 15.00, webinar ini diawali dengan pemaparan sinopsis dari film Parasite oleh host dan langsung dilanjut dengan materi dari Mbak Mashita sebagai pemantik diskusi.

Mbak Mashita menjelaskan bahwa pesan akan kritik sosial yang disampaikan oleh Bong Joon-ho sudah dapat dilihat mulai dari poster film Parasite. Jika diperhatikan, terdapat perbedaan antara garis sensor untuk keluarga Kim dan keluarga Park, yang mana keluarga Kim memiliki garis sensor berwarna hitam, sedangkan keluarga Park berwarna putih. Perbedaan warna garis sensor ini menunjukkan satir yang berusaha disampaikan oleh Bong Joon-ho; bahwa ada dikotomi antara “si kaya” dan “si miskin”. Di masyarakat yang kapitalis sekarang ini, si kaya ditempatkan pada posisi putih, sedangkan si miskin pada posisi hitam.

Selain itu, kritik sosial ini juga bisa dilihat dari karakteristik para tokoh di film Parasite. Anggota keluarga Park cenderung lebih muda dibandingkan dengan keluarga Kim. Perbedaan karakter dari segi usia ini menyiratkan makna bahwa yang kaya akan semakin kaya, sementara yang miskin akan semakin miskin. Tidak peduli berapa tahun berusaha, kenyataannya keluarga Kim tidak akan sanggup mencapai kekayaan yang dimiliki oleh keluarga Park. Pesan satir ini juga disampaikan melalui lagu penutup dalam film Parasite, yang jika diartikan secara harfiah berjudul 564 Tahun, menunjukkan bahwa butuh ratusan tahun bagi Ki-woo untuk mengumpulkan uang dalam rangka membeli rumah keluarga Park.

Siratan makna tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan yang Bong Joon-ho coba sampaikan dalam film ini berbeda dengan filmnya terdahulu, Snowpiercer. Meskipun disebut-sebut sebagai dua film yang paralel dan sama-sama membahas kesenjangan, Snowpiercer justru mengangkat isu kesenjangan horizontal atau hallway yang disimbolisasikan dengan kereta, sementara itu film Parasite lebih mengangkat isu kesenjangan vertikal atau stairway.

Uniknya, film Parasite juga sedikit menyinggung konflik antar kelas bawah. Dua kelompok kelas bawah, keluarga Kim dan ART keluarga Park, sama-sama berebut dan berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Padahal, jika diperhatikan, perebutan yang dilakukan oleh dua kelompok ini tidak memberikan dampak pada si kelas atas, keluarga Park. Konflik antar kelas bawah juga diperlihatkan melalui perbedaan pendekatan yang dilakukan oleh kedua kelompok ini dalam menghadapi masalah keuangan. Mbak Mashita menyebutkan, dalam sebuah artikel di The Jakarta Post, dikatakan bahwa sang ART keluarga Park memiliki gengsi atas “gelar” pembantu teladan yang tidak pernah merepotkan majikannya. Gengsi ini muncul sebab ia sudah bekerja di rumah yang ditempati keluarga Park sejak masih ditempati oleh pemilik sebelumnya. Untuk menjaga martabatnya tersebut, sang ART memilih untuk meminjam uang pada lintah darat di luar daripada pada keluarga Park.

Dalam diskusi ini juga dibahas makna dari simbol-simbol lain, seperti batu yang dipercaya sebagai simbol awal kehidupan; kesenjangan antara si kaya dan si miskin dalam memaknai datangnya air dan hujan; masakan “ramdon” yang sebenarnya merupakan masakan kelas mana pun, terutama kelas bawah, namun digabungkan dengan daging sapi agar terkesan lebih mewah; “bau” yang identik dengan kelas bawah karena parfum merupakan sesuatu yang mewah; hingga dialog yang sengaja disesuaikan agar humor dalam film Parasite lebih bisa ditangkap secara universal.

Terminologi “parasite” dalam film ini ditunjukkan pada kedua kalangan, baik kelas atas maupun kelas bawah. Kelas bawah menjadi parasit bagi kelas atas karena mengandalkan mereka untuk mata pencahariannya, sedangkan kelas atas menjadi parasit bagi kelas bawah karena mengandalkan tenaga kerjanya. Mbak Mashita menjelaskan, bahwa seluruh tokoh dalam film ini pada dasarnya adalah “parasite”. Dan kenyataannya, hal itu lah yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari di era kapitalisme lanjut ini; bahwa seluruh orang adalah “parasite”.

Diskusi ditutup sekitar pukul 17.00 setelah Mbak Mashita selesai menjawab semua pertanyaan yang diberikan peserta webinar. Pada akhirnya, Mbak Mashita menegaskan, pesan apa pun yang disampaikan dalam film akan diserahkan kembali pada penonton perihal bagaimana mereka memaknainya. Dan seluruh penonton, dari mana pun itu, akan memaknai simbol-simbol dalam film secara kontekstual dengan melihat apa yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. (/hfz)