
Yogyakarta, 28 April 2025–Agenda transisi energi dan dekarbonisasi di Indonesia cenderung didominasi oleh pendekatan tekno-ekonomik. Menurut Indri Dwi Apriliyanti, Dosen Manajemen Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (MKP UGM), pendekatan ini tidak mampu menangkap kompleksitas dekarbonisasi yang juga meliputi aspek-aspek sosio-politik.
“Negara yang bergantung pada industri batubara cenderung lebih sulit mencapai target dekarbonisasi,”, tukas Indri dalam Kuliah Umum “Unlocking the Climate Future: What Keeps Us from Climate Action” pada Senin (28/4) di Auditorium Mandiri Fisipol UGM yang diselenggarakan Departemen MKP UGM bersama Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ).
Menurut riset yang dilakukan Indri bersama GIZ, hampir seluruh pejabat pemerintah beranggapan bahwa objektif utama dari kebijakan serta program pemerintah terkait transisi energi adalah pertumbuhan ekonomi dan perkembangan industri. Dekarbonisasi justru menjadi objektif sekunder. Hal ini selaras dengan temuan riset terkait lock-ins dalam sektor pemerintahan. Pertama, adanya kepentingan dan dependensi terhadap industri batubara yang telah lama tertanam dalam pemerintah Indonesia. Kedua, kurangnya political will akibat kepentingan ekonomi yang lebih diprioritaskan. Ketiga, kurangnya koordinasi antar sektor pemerintahan sehingga terdapat kebijakan, regulasi, serta program yang saling bertabrakan. Lebih lanjut, hasil riset juga menemukan bahwa stakeholder terkait, seperti industri, Civil Society Organization (CSO), hingga Non-Governmental Organization (NGO), sudah menyadari urgensi dekarbonisasi. Namun, imaji yang mereka miliki masih terbatas, didorong oleh kepentingan pasar, dan bergantung pada insentif dari pemerintah.
Di sisi lain, Yudiandra Yuwono, Implementing Manager for PACT GIZ Indonesia ASEAN, menyampaikan bahwa konsumsi energi primer selalu linear dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan oleh pemerintah, maka konsumsi energi diproyeksikan akan selalu meningkat. Meskipun pemerintah telah menargetkan bauran EBT sebanyak 70% pada 2045, Yudiandra menegaskan bahwa merealisasikan energi hijau tetap memerlukan ekstraksi sumber daya, lahan, hingga pembiayaan melalui mekanisme utang.
“Sayangnya, harapan kita akan kesejahteraan bergantung pada sumber daya yang semakin menipis. Upaya memperoleh sumber daya besok akan membutuhkan lebih banyak energi, air, tenaga, dan biaya daripada hari ini,” tukas Yudiandra.
Menyikapi hal ini, Yudiandra menekankan perlunya mengaplikasikan perspektif yang tidak hanya bertumpu pada kalkulasi ekonomi dan inovasi teknologi. Pembangunan haruslah diarahkan pada tujuan akhir yang lebih bermakna. Hal ini menuntut adanya pergeseran nilai-nilai dasar yang selama ini memprioritaskan produktivitas ekonomi sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan. Tanpa dibarengi dengan perubahan ini, transisi energi dan dekarbonisasi berisiko menjadi sebatas agenda simbolik yang tidak menyentuh akar persoalan.