
Yogyakarta, 22 Mei 2025—Pemberdayaan masyarakat, transisi energi, dan ketahanan pangan merupakan agenda pemerintah dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada menggelar diskusi tantangan dan perkembangan ketiga agenda tersebut bersama pakar Gaziantep University, Turkey. Digelar pada Kamis (22/5), menjabarkan bagaimana faktor-faktor perubahan iklim dan krisis pangan menjadi penentu keberhasilan agenda pemerintah.
Disampaikan Dr. Mehmet Cevat Yildirim, Associate Professor of Public Administration, krisis global mengalami dinamika dari waktu ke waktu seiring perkembangan teknologi dan perubahan iklim. Contohnya pada tahun 1970, terjadi transisi dari sektor impor ke manufaktor global, kemudian semakin berkembang menjadi jejaring pabrik global akibat globalisasi. Saat ini, dunia memasuki era gabungan teknologi robotik dan struktur neoliberal. Perubahan-perubahan tersebut memunculkan sejumlah disrupsi di berbagai bidang, termasuk ketersediaan lapangan kerja.
“Ini memunculkan masalah baru bagi negara yang bergantung pada perkembangan daerah urban. Turki salah satunya, industri tumbuh lebih cepat dari perencanaan infrastruktur yang memadai,” ujar Mehmet. Gebze, salah satu pusat industri otomotif dan kimia yang menjadi penggerak ekonomi Turki kini dihadapkan pada ketidaksiapan infrastruktur. Sistem kota semakin tertekan sehingga menyebabkan masalah sosial, seperti kemacetan, minimnya layanan publik, dan kepadatan penduduk.
Hal serupa terjadi di Indonesia, khususnya Kota Bekasi, Jawa Barat. Riset Mehmet menyebut Bekasi sebagai pusat industri otomotif dunia yang tumbuh pesat melalui investasi. Namun wilayah bekasi sendiri terbagi menjadi dua daerah yang sangat timpang, yakni kawasan industri modern dan pemukiman. “Sistem kota yang kita lihat di Bekasi terlihat tertekan karena migrasi besar-besaran, pembelian tanah untuk investasi, dan kesenjangan infrastruktur,” tutur Mehmet. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi tidak disertai dengan akses layak akan sarana dan prasarana publik.
Selain persoalan tata kota, pakar administrasi publik, Dr. Uygar Dursun Yildirim menjelaskan tantangan besar ketahanan pangan di tengah perubahan iklim dan pertumbuhan populasi penduduk. Ia menyoroti kemunculan krisis berturut-turut yang menjadi sebab akibat lemahnya ketahanan pangan dunia, seperti pandemi Covid-19 dan konflik geopolitik. Dampaknya, rantai produksi dan distribusi pangan terputus di beberapa bagian, khususnya lahan pertanian sebagai produsen utama pangan dan meningkatnya harga bahan pasokan rendah.
Survei Word Bank dan Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2024 menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang hanya 50% penduduknya mampu menjangkau nurtisi pangan seimbang. Artinya, masyarakat masih sulit mengakses bahan-bahan pangan karena kurang stabilnya harga pasar dan pemasokan yang tidak seimbang di berbagai daerah. “Banyak yang harus dibenahi dari sistem ketahanan pangan dunia, termasuk bagaimana membuat sistem tidak hanya berorientasi pada keuntungan namun juga inklusivitas dan diversitas,” papar Uygar.
Agenda pemerintah Indonesia yang menyoroti ketahanan pangan dan pemberdayaan masyarakat perlu mendapat dukungan dari banyak sektor. Rumitnya problematika ketahanan pangan tidak hanya terletak pada sistem produksi dan distribusi saja, namun juga harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi guna menghadapi perubahan iklim. Begitupun dengan perencanaan tata kota untuk menyokong aktivitas industri. Maka diperlukan pandangan pakar dan ahli untuk mengimplementasi agenda tersebut.
Diskusi Fisipol UGM ini diharapkan mampu menghubungkan faktor-faktor penting guna mewujudkan ketahanan pangan dan inklusivitas di tengah kompetisi industri. Lebih lanjut, gelaran ini juga ditujukan untuk memenuhi agena Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-2 (tanpa kelaparan) dan 10 (Inklusivitas). (/tsy)