Sebanyak 70% Masyarakat Masih Menganggap Pelecehan Seksual Dipicu Pakaian Korban

Yogyakarta, 5 Juni 2025—Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada turut berkomitmen dalam implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam misi ini, Fisipol tentunya berupaya meningkatkan kesadaran akan pencegahan kekerasan seksual dengan edukasi merata pada seluruh sivitas akademika, yakni dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Mengusung tema tersebut, Departemen Sosiologi UGM mengundang Komisioner Komnas Perempuan dan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM pada Kamis (5/6).

Prof. Dr. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si menyampaikan, setiap warga negara memiliki hak untuk bebas dari rasa diskriminasi, intimidasi, dan kekerasan. Kampus dinilai sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di mana idealisme dan nilai-nilai kemasyarakatan tumbuh. Maka tentunya kampus perlu berupaya untuk mewujudkan lingkungan belajar yang aman dan menjadi sarana pendidikan berkarakter.

Selama bertahun-tahun, Komnas Perempuan terus mendorong penurunan angka pelecehan dan kekerasan seksual. Tak hanya dari segi penanganan, strategi yang dilakukan juga meliputi pengembangan terminologi, istilah, atau definisi dari kekerasan itu sendiri. Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024, kekerasan adalah setiap dengan atau tanpa menggunakan kekuatan fisik yang menimbulkan bahaya bagi badan atau nyawa mengakibatkan penderitaan fisik seksual atau psikologis dan merampas kemerdekaan, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Definisi yang berbeda dengan sebelumnya memberikan spektrum yang lebih luas terhadap macam-macam pelecehan dan kekerasan seksual.

“Menariknya dalam tiga tahun terakhir, kasus pelecehan seksual itu lebih banyak dilaporkan dibanding kasus pemerkosaan. Padahal sebelumnya pemerkosaan paling banyak dilaporkan,” ujar Alimatul. Angka tersebut menandakan bahwa masyarakat sudah memahami adanya kekerasan seksual non fisik, seperti candaan seksual, ujaran kebencian, dan ejekan dan perkataan bertujuan merendahkan secara seksual. Kasus jenis ini rentan terjadi di ruang publik, khususnya media digital. 

“Sedangkan kalau kita lihat korban itu biasanya lebih muda dan berpendidikan lebih rendah dibanding pelaku, jadi ada relasi kuasa di sini. Ini menjadi tantangan,” ungkap Alimatul. Motif ini memang tidak jauh dengan pola-pola yang seringkali ditemui, di mana pelaku melakukan pelecehan dan kekerasan dengan motif mengharap pengakuan atau penguasaan terhadap korban. Peningkatan kesadaran mengenai motif kekerasan dan pelecehan seksual terus digalakkan untuk menghentikan fenomena victim blaming.

Sayangnya data mengejutkan justru masih muncul di survei seputar stereotip gender. Sebanyak 70% responden menyatakan setuju perempuan diperkosa dan dilecehkan karena menggunakan pakaian terbuka. Alimatus menegaskan, tentu anggapan ini berbanding terbalik dengan realita. Faktanya apapun jenis pakaian korban, baik tertutup maupun terbuka tidak sepenuhnya terhindarkan dari pelecehan seksual.  “Pakaian terbuka tidak bisa digunakan melegitimasi kekerasan itu terjadi, bahkan 9% pelaku kekerasan seksual terlapor berasal dari kalangan yang seharusnya melindungi, seperti guru, dosen, PNS, Polri, dan lain-lain,” katanya.

Satgas PPKS UGM, Dr. Nurhadi Susanto, SH, M.Hum. memberikan gambaran seputar tantangan yang dihadapi satgas selama menangani kasus kekerasan dan pelecehan seksual di kampus. Menurutnya, lingkup kewenangan satgas perlu diperkuat. Berbeda dengan aparat penegak hukum, satgas dalam proses penanganannya masih memiliki kekuatan hukum yang lemah. Hal ini tentu saja menghambat penanganan kasus-kasus di lingkungan kampus.

Masalah lainnya yang juga dihadapi adalah pembuktian terhadap kasus. Proses ini tergolong lambat apabila sudah berada di tahap aparat penegak hukum. Sedangkan penanganan kekerasan dan pelecehan seksual tentu harus memertimbangkan kondisi korban utamanya, bukan hanya fokus menghukum pelaku. “Harapannya kami di satgas PPKS UGM ini bisa terdiri dari elemen dosen, tenaga kependidikan, dan juga mahasiswa. Jadi bisa saling berintegrasi,” pungkasnya.

Upaya penanganan kekerasan seksual di kampus merupakan salah satu wujud komitmen memberikan rasa aman bagi pembelajar. Adanya satgas PPKS UGM diharapkan mampu memberikan ruang pelaporan, penanganan, dan perlindungan bagi korban kekerasan dan pelecehan seksual. (/tsy)