Institute of International Studies (IIS) FISIPOL kembali menghelat diskusi rutin (9/3). Diskusi kali ini mengangkat tema ‘Menggugat Rezim Tata Kelola Air di Jakarta: Studi tentang Perlawanan atas Hegemoni Privatisasi Air Global’. Berlokasi di Ruang Rapat IIS gedung BA 503 Fisipol, diskusi tersebut mengundang Marwa, S.IP, alumni Departemen Hubungan Internasional (HI) sebagai pembicara. Juga Tadzkia Nurshafira, S.IP, salah satu pengurus Program on Humanitarian Action (PoHA) IIS UGM.
Alifiandi Rahman Yusuf, salah satu peneliti IIS mengungkapkan bahwa diskusi ini merupakan hasil dari penjaringan riset-riset para civitas academika HI. Mulai dari dosen, peneliti, mahasiswa, hingga alumni. “Untuk tema diskusi itu tematik, biasanya disesuaikan dengan hari-hari besar dalam bulan tersebut,” terang Alif. Ia juga menambahkan bahwa pemilihan tema diskusi kali ini disesuaikan dengan perayaan hari Air Internasional yang jatuh pada 22 Maret mendatang.
Penelitian terkait privatisasi air yang dilakukan oleh Marwa, Alumni HI angkatan 2013 menjadi pemantik dalam diskusi tersebut. Mengambil lokasi di Jakarta, penelitian itu dilatarbelakangi oleh kondisi privatisasi air yang tidak memberikan kemudahan pada masyarakat menjangkau barang tersebut. Marwa mengatakan bahwa selama ini penelitian terkait privatisasi air hanya sampai pada kritik tanpa memberikan solusi. Oleh sebab itu, dalam penelitiannya, ia mencoba mengenalkan gerakan Remunicipalisation.
Remunicipalisation atau remunisipalisasi adalah gerakan untuk mengembalikan barang publik yang diprivatisasi menjadi barang publik kembali. “Cakupannya tidak hanya terkait debat publik dan privat tapi lebih kepada bagaimana membangun rezim tata kelola air yang lebih berkelanjutan dan demokratis,” terang Marwa. Remunisipalisasi sendiri dominan muncul di negara-negara maju. Hal ini dikarenakan negara maju telah memiliki sumber daya manusia dan teknologi serta pemahaman yang cukup mengenai isu tata kelola air. Sebanyak 235 kota di seluruh dunia telah konsen terkait isu tersebut pada 2015.
Di Indonesia utamanya kota Jakarta, gerakan ini baru beberapa tahun belakangan muncul. Tepatnya tahun 2002 saat terbentuknya Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRUHA). Selanjutnya pada tahun 2011 muncul Koalisi Masyarakat Melawan Swastanisasi Air Jakarta. Terakhir pada tahun 2015, Mahkamah Agung menyetujuai adanya litigasi pembatalan Undang-Undang Air. “Sayangnya keputusan ini dirasa tidak akan membawa dampak signifikan pada gerakan remunisipalisasi ini, karena MA tidak secara eksplisit memutuskan kontrak privatisasi akan dibatalkan,” terang Marwa. Ia juga menambahkan bahwa kemunculan gerakan remunisipalisasi ini cukup unik. Pasalnya gerakan anti privatisasi air ini muncul saat ide neoliberal sedang mendominasi wacana di dunia internasia secara keseluruhan.
Menanggapi penjelasan Marwa, Tadzkia Nurshafira berpendapat bahwa dengan adanya remunisipalisasi, hak atas air yang dimiliki semua orang terpeuhi. Akan tetapi menurutnya gerakan tersebut tidak perlu sampai menghapus atau mengeluarkan swasta dalam sistem regulasi pengelolaan dan penyediaan air. “Karena air juga perlu ada yang mengatur, jadi selama pemerintah dan swasta bisa bekerjasama untuk penyediaan air yang lebih baik kenapa tidak,” tambahnya.