Selasa sore (30/9) puluhan mahasiswa dengan antusisa berkumpul di depan mushola Fisipol. Mereka berkumpul untuk hadir dalam acara Forum Selasar Fisipol yang bertemakan “Pemilukada Tidak Langsung: dari DPRD, oleh DPRD, untuk Rakyat?”. Acara yang merupakan hasil kerja sama dari KM Fisipol dan Dema Fisipol ini tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa UGM sendiri melainkan dari beberapa universitas lain seperti UIN (Universitas IAIN Kalijaga) dan UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta). Diskusi yang diadakan sebagai upaya merespon isu-isu setelah diputuskannya UU pemilukada ini, dimoderatori oleh Satria Triputra, mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan (2011). Acara ini menjadi sangat istimewa karena selain menghadirkan R.M Abdul Gaffar Karim, M.A (Dosen JPP, UGM) sebagai pembicara, panitia juga menghadirkan Herry Zudianto, S.E, Akt mantan walikota Yogyakarta yang terpilih dengan dua cara pemilihan, baik langsung maupun tak langsung. Herry Zudianto menjadi walikota terpilih melalui DPRD pada tahun 2011 dan dipilih langsung oleh rakyat pada tahun 2006. Seringkali pemilukada dikaitkan dengan proses demokratisasi. Berbagai pihak menilai UU ini mematikan demokratisasi pascareformasi. Tetapi dalam level tertentu hal ini tidak bersinggungan mengingat demokratisasi adalah proses besar menuju negara modern dalam menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan. Sedangkan pemilukada hanyalah salah satu instrumen untuk mewujudkan proses tersebut. Menurut Herry Zudianto, pemilukada tidak langsung tak serta merta diartikan sebagai cara pemilihan kepala daerah yang tidak demokratis. Sistem pemilukada tidak langsung akan berlangsung baik hanya jika seluruh sistem yang membungkusnya juga terintegrasi. “Jika kita menilik konteks DIY misalnya, kita akan mengatakan DIY demokratis walaupun penetapan karena penetapan itulah kehendak rakyat”, ungkapnya. (OPRC).