FISIPOL UGM Berpartisipasi dalam Forum Diskusi Global, Membedah Dekolonisasi Pengetahuan dalam Konteks Lokal

Melbourne, 20 Maret 2025 — Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) berpartisipasi dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Global Humanities Alliance (GHA) yang bertajuk “What Does The Decolonising Knowledge Mean from Different Geographical and Disciplinary Perspectives?”. Adapun FISIPOL UGM merupakan salah satu bagian dari GHA yang merupakan forum kerja sama antar 8 universitas di dunia guna berkontribusi dalam diskursus global dalam bidang sosial humaniora yang berfokus dalam merespons isu global.

Forum diskusi ini ditujukan untuk mengakomodasikan berbagai perspektif mengenai dekolonisasi pengetahuan antar anggota GHA. Dalam sesi diskusi tersebut turut mengundang beberapa panelis yang merepresentasikan beberapa universitas, yaitu Dr. Lynda Ng (University of Melbourne, Australia), Dr. Luqmanul Hakim (UGM,Indonesia ), Dr. Nuntamon Kutalad (Mahidol University, Thailand), Prof. Projit Mukharji (Ashoka University, India). 

Pada sesi pemaparan tersebut, Dr. Luqmanul Hakim membedah perkembangan dekolonisasi pengetahuan di Indonesia. Aim juga turut menyoroti bahwa dekolonisasi dalam konteks Indonesia terjadi dengan orientasi yang berbeda bahkan seringkali tumpang tindih atau bertentangan. “Decolonizing knowledge in Indonesia, often labeled outwardly as ‘Pribumisasi’ or indigenisation of knowledge, emerged productively during the 1970s and 1990s with different orientations,” tutur Aim.  

Lebih lanjut, pada sesi pemaparan tersebut, Aim membagi tiga manifestasi yang mengindikasikan proses dekolonisasi di Indonesia. Pertama, dekolonisasi muncul untuk merespons dominasi teori modernisasi di akhir 1970-an yang terdapat aspirasi untuk mendorong ilmu sosial humaniora dalam memecahkan masalah manusia. Akan tetapi, pada saat yang sama, dalam rezim Orde Baru, ilmu sosial justru dijadikan sebagai instrumen untuk melegitimasi kebijakan dan menutup fakta tentang ketimpangan dan kemiskinan.

Kedua, dekolonisasi di Indonesia ditandai dengan perdebatan antara pengetahuan berbasis Islam dengan sekuler; dan dalam konteks ini polanya mengikuti Revolusi Iran 1979. Meskipun demikian, di tengah rezim otoritarianisme Orde Baru yang mendepolitisasi gerakan kampus, membuat Islam sebagai salah satu tempat paling aman sehingga kemudian para ilmuwan menyebut fenomena ini sebagai “Islamization of societies”. Tidak sampai di situ, Islamisasi masyarakat ini, alih-alih menciptakan hegemoni baru dalam pengetahuan, justru hal ini memantik polarisasi antar umat Muslim yang pada akhirnya justru menciptakan isolasi pengetahuan yang gagal dalam menawarkan kumpulan ilmu pengetahuan untuk dapat dikembangkan. Ketiga, pengaruh paradigma “Orientalism”, Edward Said dan Postmodernisme, keduanya mendorong untuk kembali mengkritik perspektif Barat dan kembali ke pengetahuan lokal. Tren produksi pengetahuan lokal yang banyak disoroti dalam studi antropologi dan sosiologi yang banyak mengangkat perspektif lokal yang banyak terpinggirkan oleh modernisasi, akan tetapi tidak menghasilkan dampak politik secara langsung sehingga minim terjadi perubahan struktural secara pengetahuan.