Arsip:

Berita

Mengulas Konstruktivisme Ala Onuf : Bagaimana Negara Terbentuk Melalui Kesadaran Bersama?

Yogyakarta, 25 September 2018-“Nicolas Onuf merupakan founder konstruktivisme dalam hubungan internasional. Baginya, hubungan internasional adalah bentuk konstruktivisme sosial dimana ada dinamika interaksi hubungan manusia dengan masyarakat,” tutur Kevin membuka diskusi Klub Baca Suryakanta pada Selasa (25/9) di Ruang Diskusi IIS BA 503 Fisipol UGM. Klub Baca Suryakanta merupakan agenda rutin bulanan Institute of International (IIS) yang telah dimulai sejak setahun yang lalu. Kali ini, IIS membuka diskusi pertama pada semester ini dengan mendiskusikan buku “The World of Our Making” karya Nicolas Onuf yang dipantik oleh Kevin Abimanyu Jatmiko, selaku fresh gradate Hubungan Internasional Fisipol UGM.Kevin membagi pembahasan buku melalui dua bab yakni bab pertama mengenai konstrutivisme itu sendiri serta bab ketujuh yang menjelaskan tentang world politics sebagai lingkup hubungan internasional yang mengedepankan konstrutivisme dengan mengamati politik dunia menurut konstrutivisme ala Onuf.  “Konstrutivisme melalui perbuatan, tindakan dan perkataan oleh individu maupun society akan bermuara pada fakta. Konstrutivisme melihat fakta yang ada di sekitar kita,” tutur Kevin.

Kevin menemukan adanya istilah ‘logosentris’ di bab pertama yang  menekankan pada identical consciousness yakni kesadaran identik dimana sekelompok orang memiliki kesadaran yang sama akan suatu fenomena dan menyepakati ide tersebut.  Selanjutnya, ada  principle of interpretation bahwa dari kesadaran yang sama muncul interpretasi yang  dikembangkan langsung oleh sekelompok individu dan menghasilkkan common interpretation atau interpretasi yang sama.  “Aturan-aturan tersebut yang dicetuskan oleh Wittgenstein disebut dengan governing games. Dalam konstrutivisme manusia sebagai agen utama dalam pembentukan fenomena sosial yang nantinya berkembang menjadi fenomena internasional,” ungkap Kevin. read more

Reog Ponorogo Meriahkan Dies Natalis Fisipol UGM ke 63

Yogyakarta, 19 September 2018-Belasan penari Reog bersama iring-iringan dosen dan karyawan Fisipol berjalan di taman San Siro menuju Selasar Barat Fisipol UGM (19/9). Arak-arakan ini merupakan awal dari serangkaian acara pembuka dari Dies Natalis FISIPOL yang ke 63. Dies Natalis kali ini mengangkat tema ‘Strengthening Social Development To Achieve SDG’s’. Setelah acara pembukaan ini, masih ada rangkaian acara Dies Natalis Fisipol hingga Oktober mendatang. Diantaranya; acara pidato dies, seminar nasional, Ajangsana POR Fisip dan ditutup dengan  Family Gathering dan Temu Alumni.Acara yang dibuka dengan penampilkan Reog Ponorogo Manggolo Mudho Pawargo Yogyakarta ini disusul dengan pemotongan pita dan pidato sambutan dari ketua acara Dies Natalis dan Dekan Fisipol. Perayaan Dies Natalis dengan mengundang para penari Reog ini baru pertama kalinya diadakan di Fisipol UGM, segera saja kemunculan para penari Reog di halaman Fisipol UGM menarik perhatian para mahasiswa dan karyawan Fisipol UGM. Suara riuh dan tepuk tangan penonton membahana dalam acara pembukaan Dies Natalis yang unik ini. read more

Menghadapi Revolusi Industri 4.0: Teknologi Mempermudah Pekerjaan atau Justru Menghancurkan?  

Yogyakarta, 20 September 2018—GAMAPI beserta Center for Digital Society (CfDS) mengadakan diskusi panel bertajuk “Peran Teknologi dalam Revolusi Industri 4.0”. untuk mengisi diskusi, CfDS dan GAMAPI mengundang Tony Seno Hartono, national officer dari Microsoft Indonesia dan dimoderatori oleh Sri Harjanto Adi Pamungkas, mahasiswa Manajemen Kebijakan Publik tahun 2016. Agenda diskusinya adalah dimulai dengan pidato pembukaan oleh Novi Paramita Dewi SIP. MDP. selaku dosen MKP Fisipol UGM, kemudian pemaparan materi oleh Tony Seno hartono, dan ditutup dengan sesi tanya jawab dengan audien yang berjumlah sekitar 70 peserta. Yang menjadi isu dalam diskusi ini adalah bagaimana peran teknologi dalam revolusi industri terutama dalam konteks indonesia, apakah ia akan menghilangkan pekerjaan, atau justru akan memberi peluang yang lebih?

Diskusi ini secara khusus berkaitan dengan kemunculan Revolusi Industri 4.0 bersamaan dengan bonus demografik yang akan dialami oleh Indonesia di tahun 2030. Bonus demografik dalam artian bahwa Indonesia akan memiliki penawaran tenaga kerja yang jauh lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Kemudian terdapat wacana bahwa Revolusi Industri 4.0 ini akan menggantikan banyak pekerjaan, terutama pekerjaan yang low-skilled atau tidak membutuhkan keahlian khusus dan pekerjaan kasar yang digantikan oleh mesin dan Artificial Intelligent (AI). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Indonesia sudah siap menghadapi Revolusi Industri 4.0, dan dampak positif dan negatif apa saja yang ia bawa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berupaya untuk dibahas melalui kaca mata praktisi bisnis dan sektor swasta. read more

Birema #4 Ajak Pegiat Sociopreneur Berwirausaha Dengan Nilai Kemanusiaan

Yogyakarta, 20 September 2018—Youth Studies Center (YouSure) Fisipol UGM melalui Soprema 2018 kembali menyelenggarakan gelaran Bincang Soprema (Birema). Kegiatan yang telah memasuki seri keempatnya ini mengambil tema “Social Enterprise: Sensing Business by Humanity”. Tema ini sendiri dipilih untuk menyebarkan semangat kewirausahaan sosial dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis utamanya. Mengundang Saptuari Sugiharta selaku CEO Kedai Digital dan founder Sedekah Rombongan serta Raisika, founder dan director Sanggar ASI sebagai pembicara, kegiatan ini dilangsungkan pada Kamis (20/9) di Digilib Cafe Fisipol UGM. Birema sendiri diselenggaraan dengan tujuan untuk memfasilitasi ruang dialog antara pegiat kewirausahaan sosial (sociopreneur), sivitas akademik dan masyarakat umum. read more

Patronase: Solusi atau Masalah Bagi Kesejahteraan Afrika?

Yogyakarta, 19 September 2018-Membongkar alasan mengapa negara miskin tetap miskin dan membahas mengenai kapan negara miskin terkadang menjadi kaya menjadi topik utama dalam kuliah umum bertajuk Tracking Development: Why Poor Countries Remain Poor and Sometimes Become Richer yang diselenggarakan oleh Global Engagement Office (GEO) bekerja sama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Kuliah tersebut menghadirkan Prof. Roel Van Der Veen dari University of Amsterdam dan diselenggarakan di Gedung BH 301 FISIPOL UGM pada Rabu, (19/09).Anggie Aditya selaku Deputy Manager GEO menjelaskan bahwa kuliah umum ini terselenggara atas kerjasama Universitas Gadjah Mada khususnya FISIPOL dengan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, karena GEO merupakan salah satu unit pendukung di FISIPOL yang memfasilitasi hubungan kerja sama dengan pihak luar. “Kuliah ini terselenggara berkat kerjasama UGM khususnya FISIPOL dengan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. GEO memfasilitasi dosen baik dari ranah nasional maupun internasional yang ingin berbagi ilmunya atau berbagi hasil penelitiannya di FISIPOL,” papar Anggie. Isu tersebut menurut Anggie menarik untuk dibahas karena relevan dengan keadaan saat ini, dimana kesejahteraan masyarakat menjadi suatu “problem” yang tengah diperjuangkan melalui kebijakan yang terbentuk di suatu negara. “Isu ini sangat menarik, karena isu kesejahteraan di suatu negara menjadi suatu hal yang sedang diperjuangkan,” tutur Anggie.

Mengawali diskusi, Prof. Roel membandingkan kesejahteraan negara – negara di Asia dengan Afrika. Ia membahas sebab terjadinya perkembangan yang cepat versus kesejahteraan yang stagnan dan berkelanjutan. Sebagai contoh, Ia membandingkan kesejahteraan pulau Jawa dibandingkan dengan yang lainnya. Jawa menjadi lebih sejahtera karena letak pemerintahan pusat berada disana dan tentunya untuk mempermudah memenuhi kebutuhan para elit negara. Atas hal tersebut, kemudian Prof. Roel membandingkan kesejahteraan Indonesia dengan Afrika. read more

Belajar di Belanda, Kenapa Tidak?  

Yogyakarta, 19 September 2018—Global Engagement Office (GEO) FISIPOL baru saja menyelenggarakan sesi sosialisasi beasiswa untuk program S2 yang bertempat di Ruang BH 301. Acara ini diselenggarakan atas kerja sama  dengan Nuffic Neso. Nuffic Neso sendiri merupakan organisasi non-profit yang bekerja sama dengan Belanda untuk mempromosikan pendidikan tinggi di Belanda dengan memberikan beasiswa. Pada pukul 10.00 WIB, acara dibuka oleh Amalia yang kemudian memperkenalkan pembicara untuk sesi sosialisasi beasiswa kali ini. Pembicara utama ialah Inty Dienasari selaku Coordinator of Education Promotion dari pihak Nuffic Neso. Dalam kesempatan kali ini, Inty ditemani oleh dua tamu lainnya yaitu Prof. Roel van der Veen dan Dr. Margareet van Till yang nantinya akan berbagi sedikit tips tentang bagaimana melanjutkan studi di Belanda.

Inty mengawali sesi pemaparannya dengan slide presentasi yang berjudul “Why Holland?”.Dalam sesi ini, Inty menjelaskan beberapa hal yang dapat dijadikan alasan dan sekaligus keuntungan yang dapat diperoleh dari melanjutkan studi di Belanda. Alasan utama yang dijelaskan adalah tingginya penggunaan Bahasa Inggris di Belanda.

“80% percakapan sehari-hari di Belanda itu menggunakan Bahasa Inggris,” ujarnya. Dengan begitu, pelajar yang ingin melanjutkan studi disana tidak diharuskan untuk fasih dalam Bahasa Belanda. Hal tesebut juga memudahkan mereka untuk beradaptasi di lingkungan yang baru. Selain itu, Belanda memiliki akreditasi yang sama rata dan sama baiknya antar universitas. Dikatakan bahwa tidak ada universitas yang lebih baik atau lebih buruk di sana karena semuanya setara. Sedangkan dari segi biaya hidup, Inty menjelaskan bahwa Belanda terbilang cukup murah apabila dibandingan dengan negara Eropa lainnya. Pelajar juga diperbolehkan untuk mengambil kerja paruh waktu selama 16 jam per minggu di sana. read more

Mendikbud Muhadjir Effendy Kunjungi Fisipol UGM: HIPIIS DIY Harus Menjadi Pengawal Pembelajaran Nilai Pancasila Masa Kini

Yogyakarta, 17 September 2018—Kedatangan Mendikbud Prof. Muhadjir Effendy merupakan bagian dari kunjungan beliau sebagai Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial atau yang disingkat HIPIIS, kepada HIPIIS cabang Yogyakarta. HIPIIS DIY yang sebagian besar beranggotakan para dekan fakultas-fakultas ilmu sosial di UGM, bersama anggota lain yang berasal dari luar Fisipol dan luar UGM seperti dari UIN Sunan Kalijaga dan UNS menyambut kedatangan Mendikbud di Digilib Café, Gedung Fisipol UGM. Agenda dari rapat ini diisi dengan diskusi antara anggota HIPIIS cabang Yogyakarta dengan Mendikbud terkait dengan program kerja dari HIPIIS cabang Yogyakarta. read more

Polemik Kepemilikan Tanah di Yogyakarta; Salah Siapa?

Yogyakarta, 18 September 2018—Permasalahan mengenai klaim tanah di Yogyakarta terus bermunculan hingga saat ini. Permasalahan ini berkisar dari kasus lahan Gumuk Pasir di Bantul hingga konflik agraria pada pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Kedua kasus tersebut mengalami permasalahan serupa yakni, lahan yang diklaim sebagai Sultanat Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG). SG merupakan lahan yang diklaim sebagai kepemilikan pihak Kasultanan, sedangkan PAG merupakan lahan kepemilikan Kadipaten Pakualaman. Konflik serupa mulai dirasakan oleh warga Dipoyudan, Ngampilan, Yogyakarta, yang saat ini sedang mengalami sengketa tanah dengan pihak TNI Angkatan Darat (TNI AD).Permasalahan ini dibahas pada diskusi MAP Corner-Klub MKP Selas (18/9). MAP Corner-Klub MKP merupakan klub diskusi mingguan milik Departemen Administrasi dan Kebijakan Publik UGM. Diskusi kali ini bertajuk UU Pertanahan dan Konflik Agraria di Yogyakarta yang berlangsung di Lobby Magister Administrasi Publik Fisipol UGM Unit II. Persoalan terkait konflik agrarian ini dibahas lebih dalam dengan mengundang Kus Antoro, Pusat Studi Keistimewaan DIY Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Sugeng Teguh Santoso, Sekretaris Jendral Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), dan Mila selaku perwakilan warga Dipoyudan.

Konflik Agraria yang sedang terjadi di Dipoyudan saat ini mengharuskan 40 rumah dan 1 makam untuk dikosongkan per tanggal 21 September 2018. Hal ini terjadi akibat sengketa dengan TNI AD yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut dengan kekancingan dua. Secara hukum, TNI dapat mengklaim rumah tersebut sebagai rumah dinas jika rumah tersebut berdiri di atas tanah negara.

“Padahal, TNI mengakui bahwa tanah tersebut dipinjam dari Kesultanan Yogyakarta,” ucap Mila.

Menurut Mila, hal ini menunjukkan alasan yang tidak sinkron. Di sisi lain, Mila mengungkapkan bahwa warga memiliki dokumen yang menyatakan bahwa wilayah tersebut bukanlah aset TNI. Warga Dipoyudan sendiri sudah memiliki izin penggunaan tanah tersebut pada kekancingan Magersari. Namun, pihak TNI AD kemudian mengajukan surat pembatalan kekancingan yang dimiliki warga. read more

Fisipol UGM Galakkan Gerakan Inklusi Sosial Bersama The Asian Foundation

Yogyakarta, 15 September 2018-Australian Goverment dan The Asia Foundation melalui Program Peduli bekerja sama dengan Fisipol UGM mengadakan Diskusi Publik bertajuk Inklusi Sosial: Jembatan Menuju Indonesia Setara Semartabat pada Sabtu (15/09) di Selasar Barat Fisipol UGM. Diskusi Publik ini bertujuan untuk memaparkan sejauh mana Program Peduli yang merupakan program yang diinisiasi oleh pemerintah dibawah Kementrian Koordinator bidang Pembangunan Manusia Kebudayaan (KEMENKO PMK). Program Peduli dirancang untuk menjangkau kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan, tidak terjangkau oleh program bantuan sosial pemerintah. Selain itu, diskusi ini diharapkan dapat meningkatkan semangat inklusi sosial bagi masyarakat terutama generasi muda.Diskusi ini dihadiri oleh Erman Rahman selaku Direktur The Asia Foundation, Rebecca dari Kedutaan Besar Australia, Sonny Harmadi selaku Deputi Bidang Koordinasi Kebudayaan dan Pembangunan Kemenko PMK RI, Nyoman Shuida selaku Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat, Desa dan Kawasan Kemenko PMK RI, Dr. Erwan Agus Purwanto selaku Dekan Fisipol UGM dan puluhan mahasiswa.Dalam sambutannya, Erman Rahman mengungkapkan bahwa terdapat 3 hal penting yang perlu diperbaiki dalam mengatasai masyarakat marginal, untuk itulah Program Peduli dirancang. “Program Peduli dirancang untuk memperbaiki 3 hal, diantaranya penerimaan sosial dari warga masyarakatsekitar, akses pada layanan dasar (pendidikan, kesehatan, status kependudukan), bagaimana adanya kebijakan pemerintah yang dapat dimiliki oleh kelompok-kelompok marginal,” papar Erman. read more

Memahami Kekuatan Ekonomi Politik Internasional Dalam “Regional Colloquium of East Asia: Review on Economy and Development in Japan, China, and South Korea”

Yogyakarta, 14 September 2018 – Sejak tiga dekade lalu, Jepang, Cina, dan Korea Selatan tetap menjadi kekuatan ekonomi di bidang ekonomi politik internasional. Kemampuan tiga serangkai untuk menumbuhkan modernisasi dan kemakmuran di negara mereka masing-masing dalam waktu yang relatif singkat telah mengagetkan komunitas internasional. Institute of International Studies (IIS) Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM mengangkat topik tersebut dalam “Regional Colloquium of East Asia: Review on Economy and Development in Japan, China, and South Korea.” Pada Jumat (14/9) di Seminar Timur Fisipol UGM yang menghadirkan Dr. Hideaki Ohta selaku dosen Departemen Hubungan Internasional di Ritsumeikan University, Kyoto, Jepang. Dr. Nur Rachmat Yuliantoro selaku dosen Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM, dan Dr. Suray Agung Nugroho selaku dosen Bahasa Korea Fakultas Ilmu Budaya UGM.  Acara ini dimoderatori oleh Siti Daulah Khoriati M.A selaku dosen Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM.Drs. Riza Noer Arfani, MA., selaku  Direktur Insitute of Internasional Studies Fisipol UGM membuka acara dengan  mengucapkan selamat datang kepada Dr. Hideaki Ohta yang telah meluangkan waktunya untuk hadir di Indonesia serta berharap dapat mengadakan kolokium secara rutin kedepannya.

Dr. Hideaki Ohta membuka pemaparan materi  mengenai perkembangan ekonomi politik Jepang sejak satu dekade yang lalu meliputi kegagalan neo-liberalisme di Jepang serta tekanan Amerika Serikat (AS) terhadap kebijakan ekonomi  Jepang. “Neo-liberalisme di Jepang yang dipelopori oleh Yasuhiro Nakasone, perdana menteri ke-45, menyebabkan sistem ekonomi Jepang berubah menjadi struktur ekonomi tipe AS dan memperburuk distribusi pendapatan dan pertumbuhan,” ujar Ohta. Sejak 1980, Jepang mulai membuat kebijakan dibawah  pengaruh AS yang  menjadikan perusahaan AS  mendapat posisi dominan di pasar Jepang yakni melalui Structural Impediments Initiative (SII) pada tahun 1980–1991, Miyazawa-Clinton Agreement pada tahun 1994, Japan-US Derrugelation Dialogue pada 1997 serta US-Japan Regulatory Reform and Competition Policy Initiative pada 1994–2008. Melalui kasus tersebut, Ohto memberikan empat rekomendasi kebijakan. Pertama, reformasi kebijakan umum dari neo-liberalisme menjadi kebijakan kesejahteraan atau egalitarian. Kedua, reformasi dalam kebijakan pajak mengubah kebijakan liberalisasi atau derregularisasi di pasar tenaga kerja untuk menaikkan tingkat upah yang akan meningkatkan laju pertumbuhan. Ketiga, meningkatkan pengeluaran pendidikan untuk mengatasi ketiadaan pendapatan dan terakhir menanggulangi penurunan frekuensi dengan mengubah arah kebijakan secara keseluruhan dengan berhenti mematuhi permintaan AS secara berlebihan. read more