FisipRun yang rutin diadakan tiap pekan pada hari jumat, kali ini terasa berbeda. Kegiatan FisipRun sebagai rangkaian Dies Natalis Fisipol ke-63 mengadakan charity run yang bertajuk ”FisipRun Dies Natalis: Solidarity For Humanity Palu-Donggala,” berupa kegiatan berlari sekaligus beramal donasi membantu korban bencana gempa bumi di Palu dan Donggala. Runtunan bencana alam di Indonesia akhir-akhir ini mulai dari Lombok hingga ke Palu dan Donggala membuat Fisipol UGM berinisatif untuk mengadakan charity run yang diselenggarakan pada Jumat (12/10) di halaman depan gedung BB Fisipol UGM pada pukul 15.00-17.00 WIB. FisipRun bekerjasama dengan Disaster Response Unit (DERU) UGM serta Forum Olahraga Fisipol (FOF) yang dihadiri sekitar 200 peserta. Pada charity run kali ini, FisipRun akan menempuh rute dengan total jarak sejauh 4 km.
Bertempat di Seminar Timur Fisipol UGM, diskusi diawali dengan penyampaian materi dari empat orang pembicara yakni Dahlia Citra Buana selaku Chief Creative Officer Narasi TV, Pandu Dirgantara selaku Head of Production Services Narasi TV, Zidny Kadir selaku Head of Research & Development Narasi TV, dan Lisa Lindawati, S.IP., M.A. yang merupakan dosen Departemen Komunikasi Fisipol UGM.
“Narasi TV merupakan omni-channel. Artinya, Narasi TV tidak terbatas pada satu platform saja, melainkan memiliki banyak wilayah dan ranah walau utamanya tetap berada di www.narasi.tv,” ungkapnya. Sembari menayangkan beberapa potongan tayangan yang sudah pernah dipublikasikan dalam kanal Narasi TV, Dahlia lebih lanjut menyebutkan beberapa program seperti Catatan Najwa, Shihab & Shihab, Buka Mata, Narasi People, Kejar Tayang, Tompi & Glenn, Duo Budjang, Buka Buku, Teppy O Meter, Mau Tau, dan program-program lainnya di kanal tersebut.
“Kalau startup-nya tidak berawal dari masalah yang dialami banyak orang, startup tersebut tidak akan menjadi startup yang besar,” ujarnya. Sambutan tersebut kemudian dilanjutkan dengan pemukulan gong untuk menandai dibukanya acara ini secara resmi.
Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi talkshow yang dibagi menjadi dua segmen acara. Segmen pertama dimoderatori oleh Herwanto S. Prabowo dari Kasubdit Modal Ventura, Bekraf. Pada segmen ini, terdapat empat pembicara yang diundang keatas panggung, yaitu Syaifullah selaku Direktur Akses Permodalan Bekraf, Muhammad Neil El Himam selaku Direktur Fasilitasi Infrastruktur TIK Bekraf, Eddy Purjanto dari Kamar Dagang Indonesia Yogyakarta, dan Arif Singapurwoko selaku Dosen / Pengelola Inkubator Bisnis UII.
IWPCD (International Workshop on Power, Conflict, and Democracy) 2018 diisi dengan sesi workshop internasional dengan materi seperti, electoral governance, civil society, local politics, citizenship and walfare, dan berbagai materi lain. Penyelenggaraan acara ini didukung oleh CIRIS (Centre for Indonesia Risk Studies), WASKITA, ABIPRAYA, AirNav Indonesia, Angkasa Pura Airports, dan GBK (Gelora Bung Karno).
IWPCD dihadiri oleh 17 peserta dari berbagai daerah di Indonesia yang sudah terpilih dan telah mengirimkan naskah kepada pihak penyelenggara. Acara ini juga dihadiri oleh beberapa pemateri baik dari dalam maupun luar negeri seperti, Prof. Gerry Van Klinken (The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies), Prof. Olle Törnquist (University of Oslo), Prof. Meredith L. Weiss (University at Albany, State University of New York), Prof. Purwo Santoso (Universitas Gadjah Mada), Dr. Max Lane (The Institute of Southeast Asian Studies), Prof. Cornelis Lay (Universitas Gadjah Mada), Najib Azca, Ph.D (Universitas Gadjah Mada), Aris Arif Mundayat (Universitas Pertahanan), Prof. Stale Agen Rye (Norwegian University of Science and Technology), Dr. Nicolaas Warouw (University of New South Weles), dan Dr. Amalinda Savirani (Universitas Gadjah Mada). Tidak hanya itu, hadir juga beberapa reviewer seperti, Dr. Wawan Mas’udi (Universitas Gadjah Mada), Dr. Nanang Indra Kurniawan (Universitas Gadjah Mada), Dr.rer.pol. Mada Sukmajati (Universitas Gadjah Mada), dan Prof. Kristian Stokke (University of Oslo).
Kevin menemukan adanya istilah ‘logosentris’ di bab pertama yang menekankan pada identical consciousness yakni kesadaran identik dimana sekelompok orang memiliki kesadaran yang sama akan suatu fenomena dan menyepakati ide tersebut. Selanjutnya, ada principle of interpretation bahwa dari kesadaran yang sama muncul interpretasi yang dikembangkan langsung oleh sekelompok individu dan menghasilkkan common interpretation atau interpretasi yang sama. “Aturan-aturan tersebut yang dicetuskan oleh Wittgenstein disebut dengan governing games. Dalam konstrutivisme manusia sebagai agen utama dalam pembentukan fenomena sosial yang nantinya berkembang menjadi fenomena internasional,” ungkap Kevin.
Yogyakarta, 19 September 2018-Belasan penari Reog bersama iring-iringan dosen dan karyawan Fisipol berjalan di taman San Siro menuju Selasar Barat Fisipol UGM (19/9). Arak-arakan ini merupakan awal dari serangkaian acara pembuka dari Dies Natalis FISIPOL yang ke 63. Dies Natalis kali ini mengangkat tema ‘Strengthening Social Development To Achieve SDG’s’. Setelah acara pembukaan ini, masih ada rangkaian acara Dies Natalis Fisipol hingga Oktober mendatang. Diantaranya; acara pidato dies, seminar nasional, Ajangsana POR Fisip dan ditutup dengan Family Gathering dan Temu Alumni.Acara yang dibuka dengan penampilkan Reog Ponorogo Manggolo Mudho Pawargo Yogyakarta ini disusul dengan pemotongan pita dan pidato sambutan dari ketua acara Dies Natalis dan Dekan Fisipol. Perayaan Dies Natalis dengan mengundang para penari Reog ini baru pertama kalinya diadakan di Fisipol UGM, segera saja kemunculan para penari Reog di halaman Fisipol UGM menarik perhatian para mahasiswa dan karyawan Fisipol UGM. Suara riuh dan tepuk tangan penonton membahana dalam acara pembukaan Dies Natalis yang unik ini.
Diskusi ini secara khusus berkaitan dengan kemunculan Revolusi Industri 4.0 bersamaan dengan bonus demografik yang akan dialami oleh Indonesia di tahun 2030. Bonus demografik dalam artian bahwa Indonesia akan memiliki penawaran tenaga kerja yang jauh lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Kemudian terdapat wacana bahwa Revolusi Industri 4.0 ini akan menggantikan banyak pekerjaan, terutama pekerjaan yang low-skilled atau tidak membutuhkan keahlian khusus dan pekerjaan kasar yang digantikan oleh mesin dan Artificial Intelligent (AI). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Indonesia sudah siap menghadapi Revolusi Industri 4.0, dan dampak positif dan negatif apa saja yang ia bawa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berupaya untuk dibahas melalui kaca mata praktisi bisnis dan sektor swasta.
Yogyakarta, 20 September 2018—Youth Studies Center (YouSure) Fisipol UGM melalui Soprema 2018 kembali menyelenggarakan gelaran Bincang Soprema (Birema). Kegiatan yang telah memasuki seri keempatnya ini mengambil tema “Social Enterprise: Sensing Business by Humanity”. Tema ini sendiri dipilih untuk menyebarkan semangat kewirausahaan sosial dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis utamanya. Mengundang Saptuari Sugiharta selaku CEO Kedai Digital dan founder Sedekah Rombongan serta Raisika, founder dan director Sanggar ASI sebagai pembicara, kegiatan ini dilangsungkan pada Kamis (20/9) di Digilib Cafe Fisipol UGM. Birema sendiri diselenggaraan dengan tujuan untuk memfasilitasi ruang dialog antara pegiat kewirausahaan sosial (sociopreneur), sivitas akademik dan masyarakat umum.
Mengawali diskusi, Prof. Roel membandingkan kesejahteraan negara – negara di Asia dengan Afrika. Ia membahas sebab terjadinya perkembangan yang cepat versus kesejahteraan yang stagnan dan berkelanjutan. Sebagai contoh, Ia membandingkan kesejahteraan pulau Jawa dibandingkan dengan yang lainnya. Jawa menjadi lebih sejahtera karena letak pemerintahan pusat berada disana dan tentunya untuk mempermudah memenuhi kebutuhan para elit negara. Atas hal tersebut, kemudian Prof. Roel membandingkan kesejahteraan Indonesia dengan Afrika.
Inty mengawali sesi pemaparannya dengan slide presentasi yang berjudul “Why Holland?”.Dalam sesi ini, Inty menjelaskan beberapa hal yang dapat dijadikan alasan dan sekaligus keuntungan yang dapat diperoleh dari melanjutkan studi di Belanda. Alasan utama yang dijelaskan adalah tingginya penggunaan Bahasa Inggris di Belanda.
“80% percakapan sehari-hari di Belanda itu menggunakan Bahasa Inggris,” ujarnya. Dengan begitu, pelajar yang ingin melanjutkan studi disana tidak diharuskan untuk fasih dalam Bahasa Belanda. Hal tesebut juga memudahkan mereka untuk beradaptasi di lingkungan yang baru. Selain itu, Belanda memiliki akreditasi yang sama rata dan sama baiknya antar universitas. Dikatakan bahwa tidak ada universitas yang lebih baik atau lebih buruk di sana karena semuanya setara. Sedangkan dari segi biaya hidup, Inty menjelaskan bahwa Belanda terbilang cukup murah apabila dibandingan dengan negara Eropa lainnya. Pelajar juga diperbolehkan untuk mengambil kerja paruh waktu selama 16 jam per minggu di sana.