Sebagai narasumber, perwakilan TKN Jokowi-Ma’aruf adalah Arya Sinulingga. Sedangkan perwakilan dari BPN Prabowo-Sandi, hadir Dirgayuza Setiawan & R. Saraswati Djojohadikusuma. Program kerja yang disampaikan akan ditanggapi oleh panelis tim ahli UGM, yaitu Wening Udasmoro (Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM), Hakimul Ikhwan (Sekretaris Departemen Sosiologi, Fisipol UGM), Laksono Trisnantoro (Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM), Suzanna Eddyono (Dosen Departemen PSdK, Fisipol UGM), dan Agus Suwignyo (Dosen Departemen Sejarah). Talkshow dipandu oleh dosen Departemen Politik Pemerintahan Fisipol UGM, Ulya Niami Efrina Jamson.
Acara diawali dengan Canggih yang menceritakan pengalamannya selama menempuh masa-masa studi master di Negeri Gajah Putih tersebut. Canggih bercerita secara umum bagaimana dulu dirinya berhasil memperoleh beasiswa AUN/SEED-Net Jica untuk melanjutkan studinya di jurusan teknik.
Beasiswa Jica sendiri merupakan beasiswa yang disponsori oleh Jepang dan memang ditujukan untuk mahasiswa teknik. Akan tetapi, masih banyak beasiswa lain, misalnya beasiswa AUN, yang tersedia bagi mahasiswa dari fakultas cabang ilmu lain, termasuk ilmu sosial.
Sebagai sesama masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang, Kanada dan Indonesia memiliki kesamaan yang cukup signifikan. Kedua negara sama-sama menerapkan sistem demokrasi sebagai sistem politik,lalu keduanya sama-sama memiliki bahasa, suku bangsa, dan agama yang beragam.
Keduanya juga sedang mengahadapi Pemilihan Umum ditahun ini, ditengah maraknya ujaran bahkan tindak pidana kebencian, H.E Peter McArthur menceritakan bagaimana Kanada sebagai masyarakat majemuk dapat menerima perbedaan dan menerapkan Inklusifitas bagi semua warganya.
“Golput atau Golongan Putih awalnya merupakan gerakan alternatif yang mencoba melawan rezim Orde Baru yang secara despotik membatasi pilihan dalam pemilu. Namun golput yang diberitakan di media dan dalam wacana publik saat ini menyamakannya dengan absentee voters atau pemilih yang memang tidak mau memilih bukan atas alasan ideologis,” Ucap Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi sebagai pemantik dalam diskusi MAP corner minggu ini.
Menurutnya Golput dalam artian tidak memilih dapat disebabkan oleh berbagai alasan, seperti alasan teknis dalam pendaftaran, merasa memilih tidak akan membawa perubahan berarti dan ketidakperdulian terhadap pemilu dan politik. Berbagai alasan tersebut tidak bisa dimasukkan dalam satu keranjang besar bernama “golput”.
“Inti kerjasamanya adalah riset, yang akan diatur dan dikelola oleh Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM. Nama risetnya adalah “Diplomasi Total di Sektor Energi”, ungkap Anadya, perwakilan unit Global Engagement Office (GEO) yang terlibat dalam pembuatan PKS ini.
Pihak-pihak yang terlibat dalam program kerjasama ini adalah Fisipol UGM, Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI), dan PGN yang akan mendukung funding riset. Dalam penandatanganan PKS, pihak PGN diwakili oleh Ibu Desima E. Siahaan, direktur SDM dan Umum; sedangkan Fisipol UGM diwakili oleh Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si. selaku dekan Fisipol UGM. Hasil luaran dari riset ini diharapkan bisa menjadi dasar diploasi Indonesia dalam pengelolaan energi.
Center for Digital Society (CfDS) menyelenggarakan kegiatan movie screening dengan mengangkat topik “Technology in Contemporary Japan Life” pada Kamis (14/3) di Auditorium Lantai 4 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol). Berkolaborasi dengan Festival Film Dokumenter dan NHK World-Japan, dua film yang menjadi topik diskusi adalah film Happier than Real dan It’s a Startup-life. Kegiatan tersebut banyak menarik minat mahasiswa bukan hanya dari kalangan Fisipol UGM saja namun juga fakultas lain di UGM, seperti FIB bahkan beberapa peserta dari universitas lain.Sebagai pemantik diskusi dalam kegiatan Movie Screening, dihadirkan dua pembicara, yaitu Dr.Dian Arymami,S.IP,M.Hum, dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM, dan Ukky Satya, Koordinator Festival Film Dokumenter.
Yogyakarta, 13 Maret 2019—Pengembangan hukum dan politik di ASEAN dinilai perlu dibarengi dengan pengembangan integrasi nilai dan identitas. “Pengembangan hukum, institusi dan politik di ASEAN harus berbarengan dengan pengembangan rasa ‘kekitaan’ masyarakat ASEAN,” ujar Sekretaris Direktorat Jendral Kerja Sama ASEAN Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, Vedi Kurnia Buana dalam kapasitasnya sebagai pembicara kunci dalam International Conference on ASEAN Studies (ICONAS) 2019 dengan tema “Rethinking Law, Institution, and Politics in Advancing Partnership for Sustainable ASEAN Community.”Kedua hal tersebut menurutnya menjadi kunci untuk menjaga kesatuan, sentralitas dan keberlangsungan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional. Sentralitas ASEAN menjadi penting ditengah perubahan konstelasi geopolitik dan geo-ekonomi kawasan Indo-Pasifik.“ASEAN berada di kawasan Indo-Pasifik yang sekarang menjadi medan pengaruh kekuatan besar dunia,” tuturmya.
Septiaji Eko Nugroho dari Mafindo menjadi narasumber pertama dalam sarasehan ini. Baginya, tantangan Indonesia saat ini adalah cara bagaimana menyerang berita bohong. “Kita bisa belajar dari Myanmar yang pernah mersakan efek hoaks yang menyebabkan terjadinya genosida di Rohingnya,” tuturnya.
Hoaks inilah yang merusak rasiolitas publik dan kualitas demokrasi serta menyerang legitimasi penyelenggaraan pemilu yang hasilnya adalah distorsi. Post-truth juga merupakan latar belakang yang menyebabkan distorsi.
Acara dibuka oleh Duta Besar RI untuk Australia, H. E. Y. Kristianto S. Legowo. Kristianto mengatakan, seminar tersebut sejalan dengan upaya bersama untuk meningkatkan hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
Kristianto juga mengapresiasi UGM karena telah mengadakan seminar ini. Menurutnya, UGM merupakan kampus yang bersahabat.
“UGM saat ini menjadi universitas favorit untuk mahasiswa S1 Australia yang belajar di Indonesia,” kata Kristianto.
Dalam pemaparannya, Kristianto menyebutkan terdapat lima elemen untuk membina hubungan baik antara dua negara. Lima elemen tersebut adalah sikap saling menerima, saling percaya, saling memahamki, senantiasa mendukung dan membantu, dan harus mampu menjadi aset bagi satu sama lain dalam rangka memajukan kepentingan nasional.
Riski Purna Adi, seorang sahabat tuli dan sekaligus pengajar dalam kelas bahasa isyarat ini, mengatakan bahwa sebenarnya “tuli” bukan kata yang kasar. Kata “tuna rungu” dibuat oleh orang dengar dan penggunaan kata tersebut justru dianggap kasar dan menyinggung orang tuli. Sebelum melanjutkan ke pelajaran bahasa isyarat, Riski dibantu oleh Farida, menyampaikan beberapa hal mengenai identitas dan budaya tuli. Dalam materi ini, Riski juga menyinggung sudut pandang medis mengenai tuli yang sebenarnya salah.